REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Morgan Stanley Investment Management menilai ringgit Malaysia dan rupiah Indonesia sebagai mata uang paling menarik di antara mata uang negara-negara berkembang yang lain, setelah tahun ini dua mata uang tersebut berada di tingkat terendah dalam 17 tahun.
Mata uang Asia dalam kondisi terburuk pada tahun ini, sebagai efek dari kemerosotan harga komoditas ekspor dan efek dari Amerika Serikat yang bersiap menaikkan suku bunga.
Morgan Stanley memprediksi ringgit dan rupiah akan mengungguli mata uang negara-negara Asia yang lain dan tidak akan mengalami Taper Tantrum yang pernah terjadi di 2013. Saat itu 70 miliar dolar AS ditarik dari pasar obligasi setelah Federal Reserve mengisyaratkan stimulus moneter akan dipotong.
"Malaysia adalah yang termurah dari pemodelan valuta asing jangka menengah kami, di pasar negara berkembang, dan Indonesia adalah yang kedua. Sedangkan India seperti menarik, tapi ternyata tidak," kata Direktur Utama Morgan Stanley Investment Management, Jens Nystedt, di Jakarta, Rabu (16/9), seperti dilansir bloomberg.com.
Menurut Nystedt, kenaikan suku bunga The Fed tahun ini tidak akan mengejutkan investor dan kerugian yang dialami nilai tukar negara-negara berkembang akan bersifat sementara. Defisit keuangan di Indonesia dan India, justru membuat kedua negara tersebut bertahan dibandingkan dengan dua tahun lalu.
Sedangkan, daftar pasar yang paling rentan terhadap gangguan adalah Brasil, Turki, dan Afrika Selatan. "India dan Indonesia telah mengambil langkah-langkah ke arah yang benar. India, khususnya, telah lebih berani saat reformasi dibandingkan dengan pasar lain," jelas Nystedt.
Ringgit melemah 18 persen tahun ini karena anjloknya harga minyak mentah yang merugikan ekspor dan tuduhan korupsi terhadap Perdana Menteri Najib Razak. Najib sebelumnya telah membantah menggunakan uang untuk kepentingan pribadi. Sedangkan, rupiah melemah 14 persen dan rupee melemah 5,1 persen pada periode yang sama.