REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Divisi Product Development Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (Amkri) Adi Nugraha mengatakan, pertumbuhan industri mebel di Indonesia belum sejalan dengan pertumbuhan teknologi permesinan nasional. Padahal, Amkri telah berkomitmen dengan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan ekspor dari Rp. 1,8 miliar menjadi Rp. 5 miliar dalam lima tahun ke depan.
"Kemajuan target pencapaian itu tetap akan pincang apabila tidak didukung dengan teknologi terkini dan mekanisasi," ujar Adi di Jakarta, Kamis (17/9).
Adi menjelaskan, sampai saat ini kecenderungan pengrajin mebel dan kerajinan menggunakan mesin impor. Sebagian besar mesin tersebut didatangkan dari Cina, Taiwan, dan Eropa. Menurutnya, perusahaan Indonesia yang memproduksi permesinan masih sulit ditemukan dan harganya cenderung lebih mahal dari harga mesin impor.
"Disinilah peran pemerintah, kalau mau meningkatkan permesinan di Indonesia bisa diberikan insentif yang mumpuni sehingga harganya kompetitif," kata Adi.
Adi mengatakan, sejauh ini hanya pengrajin kelas besar dan menengah saja yang sudah menggunakan permesinan dengan tekonologi tinggi. Sementara, pelaku usaha di kelas bawah sebagian besar masih menggunakan mesin sederhana dan lebih banyak buatan tangan.
Amkri berharap seluruh pengrajin mebel dan kerajinan bisa memanfaatkan teknologi terkini dalam proses produksi. Pasalnya, melalui bantuan mesin dan teknologi terkini bisa meningkatkan produksi sektor kerajinan maupun furnitur minimal 50 persen.
Adi tidak memungkiri bahwa, pendanaan menjadi salah satu kendala dalam pengadaan permesinan bagi pengrajin. Sejak dua tahun ini, Amkri sudah mencoba audiensi dengan bank pemerintah agar bisa mendapatkan insentif dan kemudahan kredit. Namun, sejauh ini bantuan pendanaan tersebut masih belum sesuai harapan.
"Pendanaan, tidak hanya dibutuhkan untuk industri yang sudah mapan saja namun lebih dibutuhkan untuk pengusaha yang masih start up," kata Adi.
Menurut Adi, pemerintah seharusnya bisa memberikan insentif pajak yang direndahkan sehingga pengusaha bisa kompetitif. Selain itu, di Indonesia juga belum ada dana ventura untuk memudahkan permodalan bagi pelaku usaha kecil.