Rabu 09 Sep 2015 15:04 WIB

‎Pajak Penerangan Jalan ‎Membingungkan Konsumen

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Ilham
 Konsumen membeli token PLN Prabayar di kasir Alfamart.
Foto: Dok. Alfamart
Konsumen membeli token PLN Prabayar di kasir Alfamart.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian besar konsumen listrik masih dibingungkan oleh istilah Pajak Penerangan Jalan (PPJ) yang dibebankan kepada mereka. Pasalnya, meski kerap membayar PPJ saat membeli atau membayar token listrik, namun tidak semua konsumen bisa menikmati penerangan jalan di wilayahnya.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, PPJ bisa menjadi konflik kesalahpahaman masyarakat terhadap pemerintah. Hal ini karena tidak semua masyarakat paham bahwa timbal balik PPJ bersifat tidak langsung.

Karena bentuknya yang berupa pajak, PPJ tidak otomatis memberi timbal balik langsung berupa fasilitas penerangan jalan. Lain halnya dengan retribusi dimana pembayar bisa langsung merasakan fasilitas, seperti misalnya retribusi parkir dimana saat membayar, masyarakat bisa menikmati jasa tempat parkir.

"Masyarakat masih banyak yang salah paham. Harusnya PPJ diganti nama jadi pajak listrik. Ubah terminologinya," ujarnya, Rabu (9/9).

Pemungutan PPJ berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Aturan ini diimplementasikan melalui Peraturan Daerah (PERDA) Pemerintah Daerah tingkat II masing-masing. "(besarannya) Maksimal sepuluh persen," ujarnya.

Pemda diberi kewenangan untuk mengatur ini. Tulus mengapresiasi salah satu daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang membebaskan warganya dari pembayaran PPJ ini. "Padahal daerah tersebut termasuk golongan daerah tertinggal. Ini mungkin bisa dicontoh Pemda lain," kata dia.

Tulus meminta PLN agar memberi keleluasaan kepada konsumen agar bisa memilih sistem penggunaan listrik, apakah itu prabayar atau pascabayar. PLN, kata Tulus, seringkali tidak memberi konsumen pilihan lain selain menggunakan sistem prabayar. Ketika konsumen pascabayar ingin menambah daya, maka sistem listrik tersebut harus dikonversi ke prabayar.

"Harusnya konsumen punya hak pilih. Di dalam regulasi pun tidak boleh diharuskan seperti itu karena ada kelompok yang nyaman dengan prabayar atau pascabayar," ujar Tulus.

Pemerintah telah mengatur regulasi yang jelas soal penggunaan listrik. PLN sendiri ditunjuk sebagai BUMN yang menjalankan aturan tersebut. "Pemerintah harus tegas memonitor pelaksanaan ini di lapangan. PLN jangan memaksakanan kebijakan yang belum tentu menguntungkan konsumen," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement