REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Pemerintah diminta jangan bersikap seolah tidak apa-apa menghadapi krisis ekonomi yang sudah di depan mata. Terbukti, saat ini tenaga kerja di industri manufaktur sudah banyak yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pemerintah hendaknya jangan lagi mengatakan bahwa Indonesia tidak sedang menuju krisis ekonomi. “Kalau terus mengatakan uang negara masih cukup, itu terlalu naif karena banyak perusahaan bersiap-siap melakukan PHK,” kata Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf saat dihubungi ROL, Kamis (27/8).
Pemerintah harus mempercepat proses penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) dengan menggelar besar-besaran proyek pembangunan jembatan, gedung, jalan, pasar, dan lainnya. Tentunya tetap dengan mengedepankan azas kehati-hatian.
Dede berujar industri manufaktur banyak menggunakan bahan baku impor. Misalnya garmen yang menggunakan bahan baku benang hasil impor. mengatakan menguatnya dolar AS terhadap rupiah, otomatis membuat beban perusahaan manufaktur terasa semakin besar.
Ketika beban perusahaan semakin besar, maka mau tidak mau terjadi dampak pada tenaga kerjanya. “Saya dapat laporan ada 60 ribu orang di manufaktur terkena PHK,” ucapnya. PHK tersebut sudah mulai terjadi pekan lalu, ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di kisaran Rp 13 ribu. Di awal 2015, kata Dede, ada sekitar 30 ribu pekerja yang diPHK. “Artinya sudah terjadi gelombang PHK. Kalau bicara garmen berarti sebagian besarnya berada di Pulau Jawa,” kata dia.
Perusahaan tidak bisa disalahkan atas terjadinya PHK ini. Pasalnya keberlangsungan kegiatan perusahaan bergantung pada tingkat penjualan dan bahan baku. “Kalau kedua faktor ini terganggu, siapa yang mau membayar upah karyawan,” ujar politikus dari Partai Demokrat ini.