REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan pemerintah tak meremehkan kondisi perekonomian yang tengah melemah saat ini. Pernyataan ini menanggapi cuitan Presiden Keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang meminta agar pemerintah segera menangani kondisi ini dan tidak menganggap remeh.
"Oh pasti. Kita paham benar Pak SBY. Kita tak underestimate. Tapi langkah-langkah ini langkah sedunia. Jadi memang kita melemah ke dollar, tapi tidak ke mata uang yang lain," jelasnya di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (25/8).
Ia menerangkan, daya beli masyarakat Indonesia pun sama dengan daya beli masyarakat Cina dan Malaysia. Bahkan, Kalla menyebut daya beli masyarakat Malaysia lebih rendah terhadap dollar ketimbang Indonesia.
"Sama dengan yen. Jadi memang kita lemah kepada dollar karena dollar kuat. Tapi yang lainnya tidak karena dollar bukan satu-satunya pegangan dan ukuran. Yen juga ukuran," katanya.
Menurutnya, nilai tukar mata uang rupiah terhadap yen pun tidak berubah. Begitu juga nilai tukar rupiah terhadap nilai mata uang dari negara lainnya, termasuk ringgit.
"Yen dengan kita tak berubah tetap 1 = 120. Ya kan, sejak dulu gitu. Dengan yuan, dengan ringgit dulu satu ringgit 3 ribu. Sekarang bisa kita lebih kuat perkembangannya dua bulan terakhir," ujarnya.
Lebih lanjut, Kalla mengatakan, keadaan ekonomi dapat diukur dari daya beli dan dari nominalnya. Selain itu, juga terdapat ukuran perbedaan antara inflasi Indonesia dengan inflasi Amerika.
Ia pun mencontohkan kemampuan beli masyarakat Indonesia saat ini dengan 10 tahun yang lalu.
"Semuanya kalau itu berbeda-beda. Katakanlah daya beli, dulu 10 tahun lalu dengan satu dollar anda bisa makan di warung padang, Rp 8 ribu rupiah, Rp 9 ribu rupiah kan bisa kenyang 10 tahun lalu. Tapi sekarang, anda tak bisa makan satu dollar di warung padang," katanya.
Ia pun mengatakan kondisi nilai tukar rupiah terhadap dollar saat ini masih dalam kondisi wajar.
"Jadi rupiah itu diukur dari daya belinya inflasi antara rupiah dengan dollar itu masih oke. Tapi diukur nominal tahunannya jangan samakan rupiah 10 tahun lalu dengan sekarang. Kalau dulu 15 tahun lalu Rp 16 ribu, sekarang Rp 14 ribu mendekati, ya memang, tapi itu 15 tahun lalu beda nilainya," jelasnya.
Sebelumnya, SBY melalui akun resmi Facebooknya, meminta Indonesia belajar dari pengalaman krisis yang pernah terjadi pada 1998 dan 2008 silam. Ia juga meminta agar pemerintah tak menganggap remeh kondisi ini.
"Cegah jangan sampai makin cemas, kehilangan "trust" dan hidupnya makin susah. Menurut saya, manajemen krisis harus diberlakukan. Jangan "underestimate" dan jangan terlambat. Apalagi pasar dan pelaku ekonomi mulai cemas," jelasnya.
Presiden ke-6 Indonesia itu mengatakan masih percaya pemerintah bisa atasi gejolak ekonomi saat ini. Namun pemerintah sebaiknya lebih fokus dan serius, serta mencegah hal-hal yang tak perlu. Ia menilai di jajaran kabinet dan pemerintah tidak sedikit yang memahami ekonomi dan bisa ikut atasi gejolak saat ini.