REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengungkapkan ada faktor lain yang mendasari lemahnya ekonomi nasional. Selain faktor eksternal terkait devaluasi Yuan dan meningkatnya ekonomi AS, Darmin menilai ekonomi Indonesia memang rentan sejak dulu. Terlebih, karena terlalu banyak modal asing di dalam perekonomian nasional.
"Kalau itu yang ditanya, itu tidak harus persoalan Yuan ini yang harus didengungkan. Dan kita sudah rentan kalau soal kurs. Ya karena terlalu besar dana asing di dalam ekonomi kita," jelas Darmin, Selasa (25/8).
Darmin menjelaskan, dana asing yang masuk dalam perekonomian Indonesia terlalu besar. Sebagai misal, kata dia, Surat Utang Negara (SUN) bisa mencapai 38 persen dipegang oleh asing. "Di Malaysia juga agak besar, makanya dia juga berat. Tapi kalau Anda lihat Thailand berapa? Enggak banyak paling 13-14 persen," tutur dia.
Meski begitu, Darmin mengakui, fenomena devaluasi Yuan memang pengalaman baru yang pernah dihadapi Indonesia dan negara-negara lainnya. Hanya saja, lanjutnya, ketika Jepang dahulu menurunkan nilai mata uang Yen hingga 20 persen, tidak terjadi kehebohan di pasar seperti sekarang ini. "Kok yang ini ramai?" ujarnya.
Dia menilai, pada umumnya banyak yang tidak mengetahui secara rinci seperti apa dampaknya Yuan. Oleh karena itu, kemaren Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami pelemahan hingga sekira 5 persen. "Tapi sore-sore membaik sedikit tiga koma persen. Kenapa? Ya itu dia. Orang enggak tahu. Kalau enggak tahu, pasang dulu nanti baru nanya ke sana ke mari," jelas Darmin.
Menurutnya, di tengah devaluasi mata uang Cina (Yuan), yang paling bersaing dengan Cina lah yang seharusnya terkena dampaknya. "Gini, sekarang sebetulnya Cina devaluasi. Siapa yang paling bersaing dengan dia? Itu dia yang paling terkena harusnya," ujar Darmin.
Seperti diketahui, Senin 24 Agustus kemarin terjadi fenomena Black Monday. Market bergejolak, tidak terkecuali di Indonesia. Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menembus Rp 14.000 per USD dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk hingga 5 persen.