REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Secara teknis, pembangunan pembangkit listrik 35 ribu Mega Watt dinilai mudah kalau ada ketersediaan dana. Meski begitu, ada hal lain yang perlu dipikirkan untuk menghadirkannya, yakni masalah penggunaan mesin.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengingatkan jangan sampai pembangkit listrik Indonesia menggunakan mesin-mesin berkualitas rendah. Jika memang pemerintah hendak memakai mesin produksi Tiongkok, maka perhatikan tingkat kualitas ‘KW’nya. “Jangan menggunakan yang ‘KW’ dua atau tiga seperti pengalaman sebelumnya karena akan cepat rusak. Ini merugikan,” ucapnya kepada ROL, Jumat (21/8).
Selain kualitas, pasokan bahan bakar pembangkit listrik juga harus dipertimbangkan secara matang. Entah itu berbahan bakar gas ataupun batu bara. “Jangan sampai bahan bakarnya dari minyak karena ongkosnya kemahalan,” ucap Tulus. Meski program pengadaan listrik terhambat berbagai kendala, namun tetap harus diwujudkan. Pasalnya pembangkit listrik yang ada selama ini tidak bisa menjawab kebutuhan masyarakat. Apalagi jika pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi enam hingga tujuh persen, maka mau tidak mau pengadaan listrik menjadi solusi genting.
Pemerintah harus memutar otak untuk dapat segera menyelesaikan masalah regulasi, perizinan, dan bahan bakar yang menghantui mega proyek 35 ribu MW ini. PLN saat ini masih kesulitan menyambungkan kekuatan daya listrik bagi para pelaku bisnis dan industri. “Makin disambung, makin berkurang kekuatan daya yang ada,” ucapnya. Praktis, sejauh ini yang disambung hanyalah kepentingan rumah tangga yang tergolong listrik konsumtif.