REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai perlu menyiapkan strategi besar dalam menghadapi global currency war agar Indonesia tidak menjadi "korban" dari kebijakan finansial negara lain. Antisipasi ini dilakukan karena diperkirakan Cina masih akan melakukan devaluasi secara bertahap, Indonesia pun bisa menjadi korban dari kebijakan ini.
"Dampak global currency war terhadap kondisi Indonesia ini akan berpengaruh sangat signifikan, karena perekonomian kita sangat rentan. Defisit terhadap China akan membengkak, karena banyak proyek infrastruktur di Tanah Air mengandalkan China. Tidak hanya raw material, capital goods, tetapi juga human resources," ungkap Chief Economist IGIco Advisory, Martin Panggabean dalam siaran pers yang diterima ROL, Kamis (13/8).
Menurut Martin adalah sebuah kenyataan alias berkah yang tersembunyi bahwa rupiah ikut melemah. Bahkan, sambung Martin, setelah melemah sejak 2013, PPP index Indonesia ternyata mirip dengan Malaysia yang juga adalah kompetitor Indonesia di pasar minyak kelapa sawit, coklat dan karet.
"Artinya bila Rupiah tidak melemah ke level Rp 13 ribuan per dollar AS, maka ekonomi Indonesia yang menjadi bermasalah dalam konteks perdagangan internasional," jelasnya.
Perlu diketahui pergerakan nilai tukar rupiah diperkirakan akan berada pada kisaran Rp 13.650 sampai Rp 14.000 per dollar AS. Laju Rupiah masih fluktuatif dengan kecenderungan melemah karena adanya devaluasi Yuan.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat disebabkan oleh sentimen pasar terhadap mata uang China Yuan.