Kamis 06 Aug 2015 17:43 WIB

Harga Komoditas Batu Bara Ada di Titik Terendah, Ini Penyebabnya

Rep: Risa Herdahita Putri/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Proses bongkar muat batu bara dari kapal ke truk pengangkut di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Ahad (12/1).  (Republika/Adhi Wicaksono)
Proses bongkar muat batu bara dari kapal ke truk pengangkut di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Ahad (12/1). (Republika/Adhi Wicaksono)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga komoditas batu bara tahun ini terburuk dalam enam tahun terakhir. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI), Supriatna Suhala menyatakan (6/8) penurunan ini telah terjadi selama tiga tahun belakangan. 

"Bayangkan saja, sekarang harga tinggal 58 dolar AS per ton menurun dari 120 dolar AS per ton, ini penurunan lebih dari 50 persennya," katanya ketika dihubungi, Kamis (6/8).

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Indonesia semester I/2015 tumbuh hanya 4,7 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh semua lapangan usaha kecuali pertambangan dan penggalian. Kedua sektor itu justru mengalami penurunan sejauh 3,58 persen.

Supriatna pun menjelaskan, saat ini ongkos suplai tidak sebanding dengan harga jual yang anjlok. Dulu saat harga masih tinggi, berbondong-bondong pengusaha masuk ke industri pertambangan. Akhirnya, kini produksi batubara pun melebihi dari permintaan pasar.

Apalagi, kini Cina pun berniat mengurangi emisi. Negara itu bermaksud mengubah bahan bakarnya dengan menggunakan gas alam yang diimpor dari Rusia.

Sementara Cina mengurangi impor batu baranya, Amerika justru kelebihan produksi. Negara itu kini beralih ke bahan bakar lain. Itu pun membuat konsumsi batu bara di sana menurun.

"Akhirnya mereka ekspor ke Asia dan pasar kita di Cina digrogoti batu bara Amerika, Asia pun kelebihan suplai," lanjut Supriatna. 

Dalam hal ini, jika Indonesia harus menurunkan produksi, pasar batu bara ditakutkan akan direbut oleh negara lain. Pasalnya, keterpurukan di sektor tambang, khususnya batubara ini memang tengah dialami semua negara yang bergantung pada tambang.

"Semua menderita, bukan hanya kita, semua produsen batubara menderita, sekarang siapa yang mau menurunkan, orang saling tunggu. Ini serba salah," ujar Supriatna.

Ia mengatakan, saat ini seluruh industri tambang, tidak hanya batubara, memang tengah melemah. Akibat ekonomi global yang melemah, kebutuhan energi pun tidak sesuai harapan.

Ke depan, Supriatna mengatakan, industri batu bara masih akan menunggu. Setidaknya, di dalam negeri ada kemungkinan konsumsi batubara akan bertambah. Hal ini terkait program pemerintah dalam rangka pembangunan listrik 35ribu MW.Di antaranya 20ribu MW akan menggunakan batubara.

"Pak Jokowi katanya mau bangun PLTU, maka akan ada tambahan 80 juta ton setahun kebutuhan dalam negeri, tapi ini lima tahun yang akan datang, jadi sabar dulu," tuturnya.

Perkiraan BPS, prospek ke depan dalam hal peningkatan kondisi bisnis pada triwulan III tahun ini di sektor pertambangan memang tidak begitu menggembirakan. Di tengah optimisme pelaku bisnis yang diperkirakan akan lebih tinggi dibanding triwulan II ini, pertambangan dan penggalian tidak akan mengalami peningkatan. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement