Senin 03 Aug 2015 20:45 WIB

Serikat Pekerja JICT: Perpanjangan Konsesi Berpotensi Rugikan Negara

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Serikat pekerja dari Jakarta International Container Terminal (JICT) melakukan mogok kerja saat unjuk rasa di kantor JICT, Jakarta, Selasa (28/7).  (Republika/Tahta Aidilla)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Serikat pekerja dari Jakarta International Container Terminal (JICT) melakukan mogok kerja saat unjuk rasa di kantor JICT, Jakarta, Selasa (28/7). (Republika/Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (JICT) menilai Direktur Utama Pelindo II RJ Lino berbohong soal perpanjangan konsesi  dan pendapatan pegawai JICT.

Ketua Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (JICT) Nova Hakim mengatakan biaya pegawai JICT hanya 22 persen dari pendapatan dan paling efisien pelabuhan Tanjung Priok.  "Kami punya data itu semua," katanya, Senin (3/8).

Nova menantang Dirut Pelindo II berbicara berdasarkan data alias tidak ngawur. Dia menyesalkan sikap arogan Lino yang sering mengaburkan substansi dan main pecat karyawan saat mengkritisi perpanjangan konsesi JICT.  

Pemecatan tersebut, lanjutnya, telah mengganggu kondusivitas dan ekonomi nasional. Terlebih lagi, kata Nova, persetujuan Menteri BUMN maupun Menteri Perhubungan terhadap perpanjangan konsesi belum ada dan negara berpotensi mengalami kerugian yang sangat besar.

Nova menambahkan, serikat pekerja sudah melakukan kajian komprehensif tentang perpanjangan konsesi JICT yang bisa menyebabkan Indonesia kehilangan potensi pendapatan 3,2 miliar dolar AS dalam jangka waktu 20 tahun.

"Karena aksi korporasi Pelindo II kita kehilangan potensi revenue 3,2 miliar dolar AS atau 160 juta dolar AS per tahun. Ini dihitung dari pendapatan JICT dikurangi biaya operasional  lalu dikalikan 20 tahun masa perpanjangan konsesi," sambung Nova.

Sedangkan dengan perpanjangan konsesi yang dilakukan RJ Lino, Pelindo II, lanjutnya, hanya memperoleh uang muka (up front fee) 215 juta dolar AS dari Hutchison dan uang sewa 85 juta dolar AS per tahun.

Ia mengatakan, uang muka dari Hutchison itu nilainya sama dengan keuntungan JICT selama 2 tahun.  "Itu kecil sekali," lanjutnya.

Nova melanjutkan, Pelindo II dapat uang sewa 85 juta dolar AS per tahun atau 1,7 miliar dolar AS dalam 20 tahun masa perpanjangan. Nova menyatakan, jika dibandingkan dengan dikelola sendiri potensi kerugian negara sekitar 1,5 miliar dolar AS atau kurang lebih Rp 20 triliun dengan kurs Rp 13.000/dolar AS.

Ia mengaku heran dan tidak tahu maksud Pelindo II kembali melakukan privatisasi aset nasional yang sangat menguntungkan ini.

Oleh karena itu, Nova menginginkan pemerintah meninjau ulang proses yang serba janggal dan merugikan negara tersebut.

"Kami minta kepada Pak Jokowi untuk meninjau ulang perpanjangan konsesi JICT. Kami ingin ini taat UU dan transparan," lanjutnya.

Dari sisi aturan, Kementrian Perhubungan juga sudah peringatkan bahwa Pelindo II harus patuh. Pasal 82 dan 344 UU 17/2008 tentang pelayaran sudah jelas menyatakan otoritas yang berwenang melakukan konsesi dan perpanjangannya adalah Kementrian Perhubungan sebagai regulatir bukan Pelindo II.

"Repotnya Dirut Pelindo II klaim sudah mendapatkan opini Kejaksaan dan mau diadu dengan UU pelayaran tersebut," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement