REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Pertanian mengaku masih harus melakukan impor sapi bakalan (yang siap digemukkan) untuk menjaga pasokan konsumsi daging sapi nasional. Namun, kuantitas impor ingin diperketat menyesuaikam data kebutuhan, sembari membenahi pengelolaan sapi lokal yang masih berantakan.
"Pengelolaan ternak sapi di kita ini kalau saya sebut, masih pakai sistem 'jahiliyah', masih pakai cara yang kuno, kadang kerap mengabaikan kualitas dan kesehatan ternak," kata Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan Muladno pada Rabu (14/7).
Disebut jahiliyah, sebab sistem ternak lokal kebanyakan masih bersifat individual. Sapi dianggap sebagai tabungan, tapi asupan gizinya kurang diperhatikan. Selain itu, sistem reproduksinya pun kerap disepelekan sehingga rentan terjadi reproduksi abnormal.
Berniat menyudahi hal tersebut sekaligus menekan impor sapi, ia pun mencanangkan program baru bertajuk "211 Sentra Peternakan Rakyat (SPR)". Program merupakan semacam pendidikan untuk peternak sapi agar dapat mengelola sapi-sapi mereka dengan baik dan terkoordinasi. Sehingga pada akhirnya diharapkan program mampu memberdayakan ribuan petani beserta ternaknya dalam satu kawasan.
Dalam pemberitaan sebelumnya, data Kementan mencatat realisasi impor sapi bakalan periode Januari-Juni 2015 mencapai 298.861 ekor. Realisasi ini setara 40 persen dari realisasi impor sapi bakalan di 2014. Terdapat pula sedikitnya 377.103 ekor sapi lokal yang akan dipasok selama Juni-Juli untuk mengantisipasi kenaikan permintaan masyarakat. Sapi-sapi tersebut berasal dari sejumlah sentra produksi seperti Jawa Timur, NTT, NTB dan Sulawesi Selatan.
Sementara itu, pada kuartal III dan IV 2015, pemerintah berpotensi kembali mendatangkan sapi bakalan impor dengan total 500-600 ribu ekor. "Pemasukan impor sapi bakalan triwulan III dan IV sifatnya adalah jaga-jaga untuk mengantisipasi stok akhir tahun untuk cadangan tahun depan," tutur Muladno.