Kamis 09 Jul 2015 14:56 WIB

Ekonom: Dampak GWM-LDR Secara Nasional tidak Banyak

Rep: c87/ Red: Satya Festiani
Bank Indonesia
Bank Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia melonggarkan kebijakan makroprudensial melalui penyesuaian kebijkan Giro Wajib Minimum (GWM). Penyesuaian ketentuan tersebut dilakukan dengan mengikutsertakan surat-surat berharga (SSB) yang diterbitkan bank ke dalam perhitungan Loan to Deposit Ratio (LDR).

Ekonom dari Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, secara nasional kebijakan tersebut dampaknya tidak banyak. Sebab bank-bank di Indonesia tidak banyak yang mengeluarkan obligasi (bond). Kebijakan tersebut diperkirakan akan menambah sekitar 2-3 persen surat berharga yang dikeluarkan perbankan.

"Untuk beberapa bank tertentu pengaruhnya lumayan, tapi secara nasional tidak terlalu besar," jelas David.

Meski demikian, dia menilai pelonggaran tersebut menjadi peluang kalau kepercayan investor meningkat. Sehingga bank-bank akan terdorong mengeluarkan obligasi. Selama ini, perbankan nasional masih tergantung sumber dana dari dana pihak ketiga (DPK). Tidak seperti negara lain misalnya Korea, Taiwan atau negara Asia lain yang sudah masuk ke sekuritas (surat berharga) sejenis obligasi, negotiable certificates of deposit (NCD), atau medium term notes (MTN).

Pelonggaran LDR, lanjutnya, juga bisa mendorong penyaluran kredit. Meskipun secara nasional tidak besar dampaknya. Bank memiliki peluang untuk mengeluarkan surat berharga. Bank juga menjadi tidak bergantung pada DPK. Namun, harus ada keseimbangan antara sumber pendanaan dari DPK dan surat berharga.  

Selain itu, pelonggaran LDR untuk beberapa bank tertentu yang LDR-nya sudah mentog di 92 persen bisa lebih longgar. Sebab, jika menyentuh batas maksimal akan terkena denda. "Kalau sekarang dinaikin 94 persen dan menjadi LFR itu lebih bagus, mereka bisa ekspansi lebih kuat lagi," imbuhnya.

Berdasarkan data Bank Indonesia, pertumbuhan kredit per Mei 2015 tercatat 10,3 persen (yoy) atau sama dengan April 2015. Pada awal tahun Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan kredit di kisaran 15-17 persen (yoy). Namun, pertumbuhan kredit direvisi menurun di kisaran 11-13 persen.

Formula penghitungan LDR yang baru menjadi Kredit dibagi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang ditambah Surat Berharga yang diterbitkan bank. Sehingga, istilah LDR diganti menjadi Loan to Funding Ratio (LFR).

Selain itu, Bank Indonesia juga memperlonggar batas atas LFR hingga menjadi 94 persen. Ketentuan tersebut  bagi bank yang sudah memenuhi pencapaian tertentu Kredit UMKM dengan kualitas kredit yang baik. Pelonggaran batas atas menjadi 94 persen akan berlaku mulai 1 Agustus 2015 ini, dan dapat diberikan selama bank memenuhi beberapa kriteria.

Kriteria pertama, bank dapat memenuhi rasio kredit UMKM lebih cepat dari target waktu tahapan pencapaian Rasio Kredit UMKM. Seperti yang telah ditetapkan dalam PBI No 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis Dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Selain itu, terdapat ketentuan dari segi Non Performing Loan (NPL), yakni rasio NPL total kredit bank secara bruto (gross) kurang dari 5 persen dan rasio NPL kredit UMKM bank secara bruto kurang dari 5 persen. Sementara bagi bank yang belum memenuhi pencapaian tertentu kredit UMKM dimaksud, akan dikenakan penyesuaian jasa giro.

Kebijakan mengenai GWM LFR tersebut dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 17/11/PBI/2015 tanggal 26 Juni Juni 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional. Sedangkan Surat Edaran (SE) No 17/17/DKMP tentang Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional  sebagai petunjuk teknis PBI tersebut. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong penyaluran kredit terutama ke sektor produktif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement