REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dengan kondisi ekonomi yang lebih lemah dari 2014, Bank Muamalat tidak menyiapkan strategi khusus selain bersikap konservatif.
Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia Endy Aburrahman mengungkapkan, tekanan ekonomi dirasakan industri keseluruhan, tidak hanya oleh Bank Muamalat. Apalagi kondisi awal 2015 lebih lesu dibanding 2014.
Bank Muamalat merevisi pertumbuhan bisnis dari 15 persen jadi 10 persen hingga akhir 2015. Meski begitu, kata Endy, Bank Muamalat melihat lebih positif.
Sebab kondisi yang lebih menantang di 2014 bisa dilalui dan NPF dipertahankan dan terkendali.
''Tidak ada strategi khusus di 2015 di tengah kondisi saat ini selain berhati-hati. Bisnis tetap harus tumbuh berkelanjutan bukan hanya mengejar profit. Prinsip dasar yang konservatif dan terarah akan dilakukan Muamalat,'' tutur Endy, Selasa (30/6).
Endy menyatakan Bank Muamalat melihat kondisi dan menyesuaikan bagi hasil dengan kondisi pasar di baik pembiayaan maupun pendanaan pada triwulan dua ini.
Di triwulan satu 2015, Endy mengatakan perkembangan bisnis positif. Dari sisi profit, pada Mei 2015 sudah 30-40 persen melewati profit dari 2014.
Ini dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya menata ulang biaya seperti biaya dana lebih murah. Ia memisalkan jika total DPK Rp 40 triliun dan biaya dana turun satu persen saja, Bank Muamalat sudah berhemat Rp 40 triliun untuk setahun.
Kondisi ini ia nilai didukung kondisi pasar dan biaya pencadangan banyak dipakai di 2014 dan tidak banyak terpakai di 2015.
Tingkatkan pengembalian pembiayaan juga diperbaiki. Pertumbuhan aset pembiayaan di triwulan satu Rp 41 triliun, sedikit turun dari 2014 sebesar Rp 42,5 triliun.
''2014 aset naik dari sisi DPK. Karena kami ingin menata pembiayaan, simpanan banyak,'' kata dia.
Karena itu FDR 2014 pun 84 persen, jauh di bawah ketetapan otoritas 92 persen. Itu juga disebut Endy untuk berjaga-jaga atas tingkat likuiditas akhir tahun dan membuktikan Bank Muamalat masih mampu menerima dana masyarakat.
Melihat ekonomi 2015, Bank Mualamat melepas dana yang tidak dibutuhkan. Sehingga FDR tidak terlalu rendah, biaya dana turun dan aset turun dari Rp 60 triliun ke Rp 55 triliun.
Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2015 sebesar 4,71 persen. Angka ini turun 0,5 persen dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama tahun lalu 5,21 persen.
Kementerian Keuangan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,8 tahun ini. Sementara Bank Indonesia memproyeksi sebesar 5,1 persen.