Selasa 30 Jun 2015 22:14 WIB

Ditunggu, Gerakan Bernama Gebrakan Saleh Husin!

FGD Kementerian Perindustrian
Foto: Kementerian Perindustrian
FGD Kementerian Perindustrian

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kawasan Bintuni di Papua Barat diproyeksikan menjadi megapolitan industri petrokimia di Indonesia bahkan skala global. Pasalnya, kawasan di Indonesia timur itu memiliki paling tidak dua keunggulan.

Pertama, melimpahnya potensi gas bumi yang dibutuhkan industri petrokimia dan yang kedua adalah beberapa perusahaan nasional dan multinasional telah siap menanam investasi seperti Ferrostaal Industrial Project GmbH, raksasa petrokimia asal Jerman.

Menperin mengakui, pihak calon investor telah beberapa kali meminta kepastian dukungan energi gas sebagai salah satu basis kalkulasi investsi dan operasi. Ini mengingat industri petrokimia merupakan  bisnis jangka panjang.

"Untuk Bintuni, memang perlu intervensi pemerintah terhadap harga gas karena ini demi kepastian investasi petrokimia yang mendukung beragam industri lainnya dan menciptakan lapangan kerja," tegas Saleh Husin.

Harga gas domestik selama ini dinilai Kemenperin menjadi kendala utama pengembangan petrokimia. Banderol harga gas masih USD 9-10 per MMBTU sedangkan di luar negeri hanya USD 3-4 per MMBTU.

Acara berformat Focus Group Discussion yang bertema “Urgensi Pengembangan Industri Hulu Melalui Kebijakan yang Komprehensif” dihadiri sekitar 20 pemimpin redaksi media massa. Turut hadir seluruh jajaran Dirjen dan staf ahli di lingkungan Kemenperin.

Pemimpin redaksi dan redaktur senior yang hadir antara lain Suryo Pratomo (Metro TV), Nurjaman Muchtar (SCTV), Arifin Asydhad (Detik.com), Yadi Hendriana (MNC TV), Pieter Giero (Kompas), Arif Budisusilo (Bisnis Indonesia), M Ikhsan (Warta Ekonomi), dan Firdaus Baderi (Neraca).

Berikutnya, Apreyvita Dyah W (Global TV), Nasihin Masha (Republika), Kemal Gani (Swa), Saiful Hadi (Antara), Heddy Lugito (Gatra), Kiki Iswara (Rakyat Merdeka), Ardian T Gesturi (Kontan), Eko B Supriyanto (InfoBank), dan Wahyu Muryadi dari Tempo TV memandu FGD sebagai moderator.

Pada kesempatan itu, Suryopratomo menekankan urgensi adanya arah pembangunan industri demi kepastian investasi para pelaku usaha. Sedangkan Yadi Hendriana mengungkapkan prioritas pengembangan industri nasional sesuai dukungan sumber daya alam.

“Potensi alam kita lebih tepat untuk industri berbasis pangan dan berbasis energi. Ini sekaligus untuk menaikkan nilai tambah, kemandirian dan penguatan struktur industri,” ujar Yadi yang juga Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

Sementara, Arif Budisusilo menilai kebijakan pembangunan industri nasional sudah membutuhkan sebuah gebrakan. Menurutnya, saat ini sudah bukan waktunya orientasi industri bersifat aji mumpung.

“Arahnya harus jangka panjang. Kita jangan membangun industri hilir hanya ketika harga bahan mentah turun, tetapi juga jangan membiarkan bahan mentah tidak diolah. Kita membutuhkan semacam gebrakan dan untuk perindustrian, kita tunggu yang namanya Gebrakan Saleh Husin,” selorohnya.

Menperin Saleh Husin mengatakan, di tengah kondisi perekonomian yang masih belum stabil, industri pengolahan non-migas tumbuh sebesar 5,21 persen, lebih besar dari pertumbuhan ekonomi Triwulan I tahun 2015 sebesar 4,71 persen.

Di sisi lain, investasi PMDN mencapai Rp 17,45 triliun atau meningkat sebesar 57,01 persen. Sedangkan investasi PMA sebesar 2,87 miliar dolar AS. Angka realisasi tersebut menurut data BKPM merupakan tertinggi sejak lima tahun terakhir.

Soal pengembangan industri, lanjut Menperin, pihaknya fokus antara lain pada industri hilir berbasis bahan baku lokal, dan maksimalisasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Bahkan menurutnya, Presiden Jokowi sangat mendukung industri nasional.

“Misalnya, Presiden telah mewajibkan kementerian dan BUMN wajib membeli kapal di galangan kapal dalam negeri. Untuk kepentingan bangsa sendiri, kita memang mengambil keputusan yang berani,” tegas Menperin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement