Ahad 28 Jun 2015 12:04 WIB

Harga Gas Ideal untuk Teluk Bintuni Mulai Dihitung

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Satya Festiani
PT Pupuk Indonesia
Foto: Antara
PT Pupuk Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT. Pupuk Indonesia (Persero) telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan British Petroleum (BP) Berau, untuk melakukan joint study yang mengkaji harga gas. Joint study ini diharapkan bisa rampung pada Juni 2016, sehingga ada kepastian mengenai harga pasokan gas bumi yang ideal bagi pengembangan Kawasan Industri Teluk Bintuni.

General Manager Investment and Development Pupuk Indonesia Yunelwan Rauf mengatakan, pihaknya baru bisa mengelola lahan di kawasan industri tersebut apabila sudah ada kepastian harga gas. Menurutnya, pengadaan lahan boleh saja dilakukan oleh pemerintah, namun jika tidak ada kesepakatan harga gas maka segala kerugian akan diganti pemerintah.

"Joint study ini untuk menetapkan titik temu harga gas, kalau tidak ketemu nanti pemerintah akan turun tangan," ujar Yunelwan di Jakarta, Ahad (28/6).

Kedua perusahaan tidak melibatkan konsultan untuk melakukan studi tersebut, dan semua biaya pelaksanaan studi ditanggung secara internal. Apabila studi ini berhasil dan ada kesepakatan harga gas, maka eksplorasi gas akan dilakukan pada 2020.

Saat ini Pupuk Indonesia diketahui masih kekurangan pasokan gas sebanyak 20 MMSCFD untuk memenuhi kebutuhan gas sebesar 202 MMSCFD. Sementara itu, perusahaan asal Jerman, Ferrostaal GmbH yang berinvestasi di Teluk Bintuni juga membutuhkan pasokan gas sebanyak 2 juta MMSCFD untuk rentang waktu 30 tahun. Rencananya Pupuk Indonesia akan menggunakan lahan 100 hektar dari keseluruhan luas Kawasan Industri Teluk Bintuni yang mencapai 2.344 hektar.  

Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian Harjanto mengatakan, alokasi gas dalam pengadaan listrik sebesar 35 MW yakni mencapai 20 persen atau sekitar 1400 MMSCFD. Padahal, neraca gas Indonesia diprediksi akan defisit pada 2021. Saat ini konsumsi gas sudah mencapai 6000 MMSCFD, apabila ditambah dengan konsumsi gas untuk pengadaan listrik maka alokasi gas industri sebesar 30 persen harus dihentikan.

"Oleh karena itu, harga gas harus dihitung bersama agar tidak terjadi shortage dan jangan sampai industri pupuk dan petrokimia berhenti," kata Harjanto.

Industri pupuk dan petrokimia merupakan salah satu yang digenjot untuk mendukung swasembada pangan. Dengan demikian, Kementerian Perindustrian akan berkoordinasi dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan terkait pasokan gas tersebut. Selain itu, Kementerian Perindustrian juga akan menyampaikan surat tertulis kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian agar permasalahan gas ini bisa diselesaikan melalui integrasi yang baik.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement