Rabu 17 Jun 2015 00:20 WIB

Pemerintah Didesak All Out Genjot Ekspor

Rep: C85/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ekspor Sepeda Motor: Pekerja memoles ban sepeda motor sebelum diangkut ke kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Senin (22/12).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Ekspor Sepeda Motor: Pekerja memoles ban sepeda motor sebelum diangkut ke kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Senin (22/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah dinilai perlu segera menggenjot ekspor ke berbagai negara strategis yang perekonomiannya sedang pulih dan tumbuh signifikan, serta menetapkan skala prioritas industri ditengah tren ‘perang kurs’ di antara negara-negara yang memiliki kekuatan ekspor relatif sama. Chief Economist & Strategic Investment IGIco Advisory Martin Panggabean menjelaskan, untuk jangka pendek, rupiah dan inflasi makin memperlemah sektor riil.  

"Pada perdagangan pekan lalu rupiah sempat nyaris menembus Rp 14.000 per dolar AS yang merupakan level terendah sejak krisis 1998. Kondisi ini membuat pemerintah cemas dan meminta publik mewaspadai ‘perang kurs’ (currency war) di antara negara-negara yang memiliki kekuatan ekspor relatif sama,” ujar Martin, Selasa (16/6).

Menurut dia, pelemahan kurs yang terjadi dalam beberapa bulan ini masih dalam batas yang wajar. Secara fundamental, pelemahan memang dipicu oleh twin deficit current account and fiscal. Namun kedua defisit tersebut diperkirakan akan membaik.

Dalam perhitungan yang dilakukan IGIco terlihat bahwa para pelaku pasar tidak berekspektasi bahwa rupiah akan melemah sampai angka Rp 25 ribu per dolar AS. Angka ini hanyalah simulasi yang dilakukan beberapa bank di luar negeri untuk stress-testing analysis, dan bukan merupakan proyeksi ataupun ekspektasi riil.

Disamping twin deficit, pelemahan kurs juga didorong oleh devaluasi kompetitif negara-negara tetangga, termasuk Jepang. Banyak negara dengan sengaja memperlemah mata uangnya sekitar 5 hingga 15 persen, bahkan Jepang melemah sampai 25 persen. Sedangkan Indonesia hanya mengalami pelemahan riil 10 persen.

"Jika tidak terjadi devaluasi, sulit menggerakkan ekspor kita, terutama CPO dan kakao karena Malaysia melakukan devaluasi juga sebesar 10 persen," ujar dia.

Dalam jangka menengah, lanjutnya, ada harapan yang riil dari sisi ekspor. Ekspor ini yang harus disiapkan oleh Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian KKP dan Kementerian ESDM.

Sedangkan Kementerian Perindustrian harus segera menetapkan skala prioritas industri yang harus responsif mendorong kinerja ekspor dalam jangka pendek dan menengah ini.

Beberapa negara seperti Amerika Serikat, India dan Jepang yang perekonomiannya sedang membaik dan tumbuh dijadikan target tujuan peningkatan ekspor.  “Jepang dan AS misalnya, yang konsumsi makanan lautnya besar harus menjadi target pasar, sehingga Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki andil besar dalam menggenjot ekspor," katanya lagi.

Martin menambahkan, recovery ekonomi global saat ini memang tidak sinkron. Perekonomian di AS, Jepang dan India saat ini sedang menjadi motor penggerak  ekonomi global. Sedangkan perekonomian di negara-negara Uni Eropa cenderung sluggish dan China justru melambat.

Namun dia mengingatkan bahwa ekspor dan terkait perdagangan perlu disiapkan khususnya ke negara-negara tersebut. “Dengan Jepang misalnya, IJEPA perlu di-review kembali. Disisi lain, perbankan perlu mewaspadai debitur yang terkonsentrasi melakukan ekspor ke China dan Eropa. China itu secara historis banyak minta batubara dan hasil tambang mineral, tetapi saat ini harganya juga sedang tidak bagus bagi para eskportir, karena ekonomi China sedang melambat," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement