Jumat 12 Jun 2015 09:25 WIB

IUPK Buat Pemerintah tak Bisa 'Mengontrol' Freeport

Rep: C85/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Suasana pemandangan Grasberg Mine milik PT. Freeport Indonesia.
Foto: Antara
Suasana pemandangan Grasberg Mine milik PT. Freeport Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - ‎Anggota DPR RI Komisi VII Kurtubi menilai, Izin Usaha Pertambangan Khusus yang diberikan pemerintah kepada PT Freeport Indonesia memiliki banyak kekurangan. Meski, langkah PT Freeport Indonesia mengubah izin usahanya dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) merupakan terobosan bagus.

Dia mengungkapkan, status IUPK membuat negara tidak memiliki mekanisme kontrol terhadap biaya yang dikeluarkan Freeport. Negara tidak memiliki kewenangan untuk menelusuri jika ada biaya yang tidak wajar.

"Negara enggak tau, enggak ada kontrolnya. Itu ada biaya-biaya yang enggak wajar katakanlah, yang jadi unsur pengurangan dari penerimaan negara," ujarnya, Kamis (10/6).

Menurut Kurtubi, ini menjadi kelemahan fatal dari sistem IUPK atau sistem konsesi di jaman kolonial. Royalti yang diserap negara pun relatif kecil.

"Kalo di migas pajak per royalti itu sekitar 85 persen. Nah kalo ditambang pajaknya kira kira 30-33 persen. Royalti berapa? Kalo emas 3.75 persen, masih dibawah 40 persen negara terima. Amat sangat kecil," jelas dia.

Kurtubi menambahkan, mekanisme IUPK ini membuat pendapatan negara dari tambang sangat rendah, baik lewat pajak ataupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Penerimaan negara tidak sebanding dengan nilai produksi atau ekspor semua jenis tambang.

"Ya tapi masih lebih bagus IUP. Karena bisa sewaktu waktu bisa cabut izin‎," lanjut dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement