REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Institute for Development of Economic dan Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menyatakan, rupiah berpotensi menembus level Rp 14 ribu per dolar AS tahun ini. Menurutnya, bila pemerintah tak segera mengantisipasinya rupiah bisa semakin melemah.
"Ada potensi segitu, bisa jadi justru di sekitaran bulan-bulan ini, karena buat bayar dividen. Pertama langkah antisipasi nggak ada ada, kedua permintaan jangka pendek siklus musimannya jatuh temponya di pertengahan Juni," jelas Enny kepada wartawan di Jakarta, Selasa, (9/6).
Ia menambahkan, produksi dalam negeri yang sempat anjlok juga memungkinkan neraca perdagangan untuk pemenuhan permintaan dalam negeri. "Jadi memang permintaan dolar AS kalau kita sejak di pasar sudah naik dari Mei, dan April belum, itu yang benar-benar menjadi tekanan," tambahnya.
Dalam dunia usaha, ketika misalnya janji pemerintah untuk melakukan berbagai macam realisasi infrastruktur tak berjalan, maka bisa menimbulkan ketidakpercayaan para investor. "Ketika misalnya para investor hanya melihat ground breaking, rencana masterplan detailnya seperti apa, ini kan nggak memberikan kepastian pada mereka, justru makin menimbulkan distrust," jelasnya.
Enny menyatakan, sebenarnya tak ingin memberikan pesimisme agar tak memperburuk sentimen negatif pasar. Hanya saja, jika ditanya mengapa pada Juni sampai Juli tekanan kepada rupiah terus berlanjut, jawabannya karena tak ada langkah antisipasi di tengah fluktuasi permintaan jangka pendek yang tinggi.