Selasa 02 Jun 2015 09:39 WIB

Surat Kabar Berjuang di Era Digital

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Satya Festiani
Edisi harian International New York Times yang memuat liputan capres Prabowo Subianto.
Edisi harian International New York Times yang memuat liputan capres Prabowo Subianto.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sejumlah surat kabar Amerika Serikat harus berjuang keras, beberapa di antaranya bahkan gulung tikar, di tengah perjuangan derasnya arus digitalisasi.

Penjualan San Diego Union-Tribune di awal Mei lalu senilai 85 juta dolar AS makin menguatkan merosotnya gaya media 'lama' di era baru ini.

Harga ini lebih rendah dari harga jual San Diego Group yang mencapai 110 juta dolar AS pada 2011.

Merosotnya valuasi semacam ini sudah diperhitungkan Pew Research Center. Bahkan beberapa surat kabar seperti Boston Globe, Philadelphia Inquirer, Chicago Sun-Times dan Minneapolis Star-Tribune, valuasinya anjlok hingga 90 persen.

Pew mencatat, selama satu dekade ini, sirkulasi surat kabar AS turun 17 persen dan laba turun 50 persen.

Pada 2014, tiga media besar AS memutuskan melepas versi surat kabar mereka dan fokus pada penyiaran digital.

''Setiap surat kabar kini bicara soal kecepatan. Sayangnya, kebanyakan mereka tidak berada di posisi yang tepat,'' ungkap Analis Outsell dan penulis Newsonomics Ken Doctor seperti dikutip //AFP//, Senin (1/6).

Tak lama lagi, kata Doctor, surat kabar akan memiliki beberapa opsi mulai termasuk memangkas frekuensi edisi cetak seperti yang sudah dilakukan beberapa surat kabar.

Dengan berkurangnya laba industri ini sejak 2008, makin sulit bagi mereka berinvestasi digitalisasi.

Di triwulan satu 2015, laba agregat grup perusahaan tujuh surat kabar besar AS hanya 21 juta dolar AS. Sementara pada 2005, Gannett group bisa meraup laba 1,8 miliar dolar AS.

''Mereka harus menyisihkan laba untuk investasi di tengah hitungan pembayaran utang, pembagian deviden, dan pensiun, dan antisipasi saat target tak sesuai kondisi,'' jelas Doctor.

Bahkan New York Times pun kini agresif berganti ke berita digital dengan masih mengandalkan 70 persen laba dari versi cetak.

Perusahaan surat kabar, kata mantan editor surat kabar Chicago yang kini menjadi konsultan berita digital Alan Mutter, harus mulai memikirkan strategi bisnis mereka.

''Anggap saja seperti memulai bisnis baru, bisnis yang lebih memikat pembaca,'' kata Mutter.

Dengan begitu, laba yang dihitung adalah laba triwulanan, sehingga strateginya pun tidak selalu jangka panjang.

Washington Post, yang kini dimiliki pendiri Amazon Jeff Bezos, juga terus membesarkan dan memperbaiki strategi bisnis berita digital mereka.

comScore bahkan mencatat peningkatan jumlah pengunjung portal daring Washington Post mencapai 65 persen pada April 2015 ini.

''Di bawah kepemimpinan Bezos, Post berinvestasi pada desain laman dan pola reportase. Mereka sudah melakukan banyak hal benar,'' ungkap Mutter.

Meski itu tak selalu berarti untung, Mutter menyebut Bezos visioner dengan uangnya.

Beberapa surat kabar juga sudah menjadikan Facebook sebagai rekan untuk menyebarkan artikel dan mengundang laba mengingat besarnya pengguna media sosial. Mutter menilai ini bisa jadi jalan tengah.

''Surat kabar akhirnya memang harus menelan harga diri mereka karena tahu daya jangkau Facebook,'' kata Mutter.

Dalam sebuah studi yang belum lama dirilis American Press Institute menyebut, kunci industri surat kabar saat ini adalah mengubah kultur newsroom yang mendorong inovasi. Termasuk membuka ruang interaksi antara para jurnalis, dengan teknisi dan tim bidang kerja lain.

''Untuk menumbuhkan inovasi dan transformasi, organisasi harus menguatkan dan memotivasi orang-orang yang ada di dalamnya,'' demikian isi laporan itu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement