REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Asosiasi Pengusaha Jasa Pengiriman Indonesia (Asperindo) DPW Sulawesi Selatan (Sulsel) menolak pihak Angkasa Pura Logistik (APL) Makassar dalam menerapkan badan usaha untuk pengamanan kargo dan pos (Regulated Agent). Pasalnya keberadaan Regulated Agent (RA) akan merugikan pihak Asperindo karena membuat mereka harus mengeluarkan double cost untuk jasa pengiriman barang baik ke dalam negeri maupun ke luar negeri.
Asperido pun siap melaporkan PT Angkasa Pura Logistik ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dasar penyalahgunaan kewenangan dalam penerapan aturan dan pungutan liar. Ketua Asperindo DPW Sulsel Sugondo mengatakan, keberadaan RA untuk melakukan timbangan dan x-ray di terminal kargo outgoing sebenarnya sudah tidak diperlukan.
Hal ini karena pengecekan barang mulai dari timbangan serta x-ray sudah dilakukan saat barang masuk daerah keamanan terbatas. Jika RA ini tetap dilakukan, maka negara akan berpotensi menelan kerugin sebesar Rp 18 miliar dengan indikasi krugian Rp 1,5 miliar per bulan.
"Dengan adanya RA maka kami harus melakukan pengecekan dua kali. Ini tidak relevan. RA malah menjadi pungutan liar karena RA melakukan penarikan biaya untuk timbangan dan x-ray di terminal karfo outgoing yang jasanya sudah tidak diberikan," ujar Sugondo, Sabtu (23/5) malam.
Sugondo menjelaskan, saat ini pihak Asperindo Sulsel telah melakukan pembayaran untuk timbangan dan x-ray sebesar Rp 500 per kg. Namun jika pihak APL akan menerapkan RA di Bandara Sultan Hasanuddin, maka besaran yang harus Asperindo keluarkan mencapai Rp 1.100. Melihat kenaikan ini mencapai lebih dari 100 persen, Asperindo sangat kebingungan. Terlebih keberadaan RA sendiri tidak begitu terasa manfaatnya karena bertabrakan dengan pengelolaan yang sudah ada.
Selain itu Sugondo mengungkapkan, APL sendiri hendak menerapkan RA berdasarkan Keputusan Menteri Pehubungan (KP) Nomor 152/2012 yang secara sepihak tanpa persetujuan pengguna jasa yang diawakili Asperindo Sulsel dan belum bersepakat mengenai harga. Keputusan pengadaan RA sendiri tidak sesuai dengan semangat UU No 1 Tahun 2009 tentang penerbangan serta KM 15 tahun 2010 tentang Cetak Biru Transportasi Antarmoda dan Multimoda 2010-2030, sebab tidak definitifnya fasilitas dan jasa yang diberikan di wilayah keamanan terbatas.
Wakil ketua Asperindo Sulsel Rudolf juga sangat menyayangkan keinginan APL Makassar untuk menerapkan RA yang rencananya akan dimulai pada hari Senin (25/5) pukul 00.00 Wita. Keberadaan RA dengan nilai pengeluaran jasa pengiriman yang mencapai dua kali lipat dipastikan bakal menurunkan angka jasa pengiriman dari Bandara Sultan Hasanuddin.
Padahal sebagai bandara yang menghubungkan kawasan Indonesia Timur dan Barat, Bandara di Makassar ini mempunyai nilai pengiriman barang yang cukup tinggi. Ditambah keinginan pemerintah provinsi Sulsel untuk mendongkrak pengiriman barang mencapai tiga kali lipat, jelas akan terhambat.
"Bagaimana nilai perekonomian kita mau terus tumbuh kalau untuk pengirima barang saja banyak yang mainkan. Hingga harganya naik dua kali lipat," kata dia.
Menurut Rudolf, bandara di Jakarta, Surabaya dan Denpasar memang sudah menerakan RA di masingmasing tempat. Namun bukan artinya bandara di Makassar harus mengikuti itu. Hal ini merujuk karena penerapan RA bukan hanya masalah besaran nilai uang yang harus diselesaikan. Namun terdapat pihak tertentu yang ingin memanfaatkan pengiriman barang dari Indonesia yang terus meningkat.