REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Tingginya tingkat penggunaan valuta asing (valas) di dalam negeri menjadi salah satu alasan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015 tentang kewajiban penggunaan rupiah di wilayah NKRI. Deputi Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia (BI) Agustinus Fajar mengatakan kewajiban penggunaan rupiah harus dilakukan seluruh masyarakat yang ada di Indonesia baik itu perorangan atau korporasi. Ia memaklumi kondisi para pelaku usaha yang biasanya menggunakan valas namun dengan munculnya PBI ini harus beralih ke rupiah.
"Semua perusahaan pada dasarnya lakukan adaptasi, ada shock wajar karena sudah sekian lama nyaman dengan dolar," ujarnya dalam acara Pelatihan Wartawan Ekonomi, di Sheraton Bandung Hotel & Towers, Jalan Ir. H. Juanda, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (9/5).
Meski begitu, ia menyatakan ada juga pengecualian menggunakan rupiah seperti pada transaksi dalam rangka APBN, hibah internasional, simpanan di bank dalam valas, perdagangan dan pembiayaan internasional, serta transaksi lain yang diperbolehkan menggunakan valas dalam UU seperti kegiatan usaha bank dalam valas (UU Perbankan), pembiayaan LPEI, dan repatriasi modal asing (UU Penanaman Modal). Terkait perdagangan internasional, ia menegaskan aktivitas bongkar muat tidak termasuk ke dalam pengecualian tersebut dan harus menggunakan rupiah.
"Presiden Jokowi sejalan dengan kami. Kami tidak ingin menghambat infrastruktur strategis untuk hajat hidup orang banyak," lanjutnya.
Terkait adanya penggunaan mata uang asing di daerah-daerah perabatasan, Fajar menilai BI sudah bekerjasama dengan kepolisian untuk menindak tegas para pelaku pelanggaran tersebut. Masyarakat yang mungkin menggunakan mata uang asing sebagai hal yang lumrah tidak bisa dibiarkan begitu saja jika ingin mencapai kedaulatan rupiah di tanah airnya sendiri.
Ia menambahkan, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) jika ada perusahaan 'pelat merah' yang belum menggunakan rupiah. Sebagai penutup, Fajar membandingkan kondisi yang terjadi di Indonesia dengan negara-negara tetangganya terkait penggunaan mata uang.
"Vietnam, Malaysia, dan Thailand mengggunakan mata uangnya, sedangkan kita di Tanjung Priok menggunakan dolar, kan aneh," sambung Fajar.
Menanggapi hal ini, Direktur Institute Development of Economics dan Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengatakan munculnya PBI tersebut sebuah langkah bagus untuk mengurangi permintaan dolar di dalam negeri. Adanya PBI tersebut, semakin menguatkan dua UU sebelumnya yang sudah ada yakni UU BI dan UU Mata Uang terkait kewajiban penggunaan rupiah.
"Selama ini kan tidak terdeteksi. Ternyata banyak juga transaksi yang menggunakan dolar di dalam negeri yang diperkirakan mencapai 6 miliar dolar AS per bulan. Itu kan besar sekali sekali," ujar Enny.
Namun, Enny mempertanyakan seberapa efektif kah peran PBI ini mengingat ranah BI kan hanya berada di sektor moneter. Padahal menurut Enny, untuk membuat suatu kebijakan tersebut efektif harus ada sanksi yang diberikan bagi yang melanggar. Ia mencontohkan, apakah BI dapat menindak sebuah korporasi yang melanggar aturan tersebut, dan sejauh apa hukumannya.
Ia melanjutkan, terbitnya PBI ini merupakan semangat yang baik dalam upaya penggunaan valuta asing (valas) di dalam perekonomian Indonesia. Namun, Enny mempertanyakan seperti apakah implementasinya di lapangan dimana ia katakan masih ada penggunaan transaksi dalam bentuk valas yang terjadi di Pelindo, sejumlah pelayanan kelas eksekutif, dan juga agen-agen travel internasional.
Perempuan yang pernah menjadi staf ahli Komisi X DPR RI (2007-2010) mengharapkan dengan terbitnya PBI tersebut, setidaknya mampu mengendalikan permintaan dolar di dalam negeri. Enny menilai, peran penegak hukum sangat lah penting dalam mengawasi PBI ini, karena apabila peraturan tidak memiliki sanksi yang jelas dan tidak diproses, maka pada kenyataannya akan banyak yang melanggar. Ketegasan hukum diperlukan dalam mendukung PBI tersebut, lanjutnya.
Terkait adanya pengecualian yang diperbolehkan untuk tidak menggunakan rupiah seperti pembangunan infrastruktur strategis, Enny mengatakan apa urgensi dari adanya pengecualian tersebut, dan harus dijawab BI karena ia menilai kewajiban penggunaan rupiah di seluruh wilayah Indonesia sudah dalam amanat UU.