REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonomi Indonesia yang terus melemah salah satunya ditandai dengan rendahnya tingkat konsumsi masyarakat. Hal tersebut tampak dari kondisi daya beli masyarakat yang lambat laun terus tergerus oleh lonjakan harga-harga dan depresiasi nilai tukar rupiah.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finances (INDEF) Ahmad Heri Firdaus, menyatakan hal bermula dari kebijakan di awal pemerintahan yang tidak terkoordinasi dengan baik dalam menjaga komoditas kelompok administered price. Ditambah dengan kondisi nilai tukar rupiah yang masih melemah, kata dia, daya beli masyarakat pun akhirnya ikut memburuk.
Harga bahan bakar minyak (BBM), misalnya. Tingkat harganya naik turun akibat ditiadakannya subsidi serta harganya disesuaikan dengan harga pasar.
"Pengeluaran untuk makanan dan minuman, tembakau serta perumahan dan pembelian perlengkapan tumah tangga yang tidak mengalami perlambatan, itu pun karena ada pertambahan penduduk, bukan karena daya beli masyarakat yang baik," tambahnya. Maka, lanjut dia, tampaklah pemerintah yang terbukti lambat dalam melakukan antisipasi. Sejak 2009, pertumbuhan ekonomi di 2015 merupakan yang paling lesu.
"Gejala perlambatan ekonomi sebenarnya sudah terlihat sejak 2012 lalu. Namun apa yang dijanjikan Presiden Jokowi pada masa kampanye lalu, rupanya tak sesuai harapan," tuturnya. Pemerintah berniat melakukan revolusi mental dan perbaikan fundamental dalam kampanye, tapi realisasinya malah tak sigap lantas membuat kondisi perekonomian makin parah.