Jumat 08 May 2015 12:46 WIB

Temui Wapres, Pengusaha Gula Usulkan HPP Rp 9.500 per KG

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Satya Festiani
Industri Gula Nasional Harus Diproteksi: Pekerja melakukan bongkar muat gula putih di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Selasa (24/3).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Industri Gula Nasional Harus Diproteksi: Pekerja melakukan bongkar muat gula putih di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Selasa (24/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengusaha gula yang juga Presiden Direktur Gendis Multi Manis, Kamadjaya, pagi ini menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wapres, Jakarta. Dalam pertemuan ini, ia pun mengusulkan harga patokan petani (HPP) gula tahun ini minimum dipatok sebesar Rp 9.500 per kilogram.

"Menurut saya HPP minimum harus Rp 9.500 per kg, minimum," jelas dia di Istana Wapres, Jakarta, Jumat (8/5).

Tak hanya itu, ia pun meminta Wapres agar memberikan kebijakan yang tak merugikan pengusaha pabrik gula. Ia meminta agar kebijakan impor juga diberikan kepada para pengusaha dan industri gula berbasis tebu.

"Kalau memang pemerintah tidak mau impor selama musim giling, ya semua gak boleh impor, rafinasi juga gak boleh impor," kata Kamadjaya.

Menurut dia, dalam kebijakan yang diterapkan pemerintah saat ini justru memperbolehkan industri gula rafinasi mengimpor gula mentah dengan membebaskan biaya masuk. Sehingga, harga jual gula rafinasi pun dipatok lebih rendah daripada harga gula dari petani. "Itu yang membuat industri gula berbasis tebu kita makin lama makin hancur," terang Kamadjaya.

Ia menjelaskan, mekanisme impor ini tak hanya terjadi dalam komoditas gula, namun juga produk pangan lainnya seperti beras, jagung, kedelai, dan lainnya. Ia pun mengkritisi sikap pemerintah yang justru sering membuka keran impor pangan di saat musim panen.

Selain itu, Kamadjaya juga meminta Wapres agar pemerintah membenahi kebijakan investasi serta perdagangan yang saat ini justru dinilai tak mendorong para investor untuk membangun pabrik gula baru berbasis tebu. Padahal, kata dia, Wapres menginginkan agar Indonesia memiliki belasan pabrik gula baru.

Lebih lanjut, Kamadjaya juga meminta agar pemerintah memprioritaskan memberikan insentif kepada para pengusaha gula lokal berbasis tebu. "Karena bangun pabrik seperti kami itu Rp 1,5-1,6 triliun. Itu pakemnya. Sementara bangun rafinasi itu hanya Rp 500 miliar," tambah dia.

Ia pun menyebutkan, jumlah pabrik gula saat ini justru semakin menurun. Pada 1996, kata dia, terdapat 163 pabrik gula di Indonesia. Namun saat ini, industri gula tersebut hanya tersisa 57 pabrik. Sedangkan, pertumbuhan jumlah pabrik gula rafinasi justru semakin meningkat. "(Pabrik) Rafinasi itu tumbuh dari cuma 1 di 1996 dengan kapasitas 150 ribu ton, sekarang ini ada 11 rafinasi, kapasitasnya 7 juta ton," tutup dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement