REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan, pada kuartal pertama 2015 ini industri tekstil sedang lesu karena secara global permintaan menurun. Hal ini akibat dari menguatnya dolar AS terhadap sejumlah mata uang dan fluktuasi harga minyak dunia, sehingga membuat daya beli masyarakat turun.
“Secara global imbasnya akan berlangsung sampai akhir tahun sehingga kita baru berharap bisa naik lagi pada tahun depan, namun di kuartal pertama ini kita belum menghitung penurunan persentasenya,” ujar Ade di Jakarta, Kamis (23/4).
Ade mengatakan, lesunya industri tekstil bukan hanya dirasakan oleh Indonesia saja namun juga sejumlah negara lain seperti Vietnam dan Korea Selatan. Menurutnya, agar industri tekstil dalam negeri tetap stabil pemerintah dan pelaku usaha perlu melakukan manuver dengan giat untuk menarik investor asing dan menetapkan free trade agreement (FTA) dengan sejumlah negara yang berpotensi, seperti Turki, Brasil, dan Uni Eropa.
Menurut Ade, lesunya industri tekstil di kancah global tidak terlalu berpengaruh terhadap minat investor karena pelaku usaha yang berinvestasi tidak hanya melihat pangsa pasar saja namun juga kebijakan di negara tujuan. Oleh karena itu, pemerintah harus berupaya untuk menurunkan harga listrik minimal 6 sen dolar As per kilowatt per jam agar industri tekstil di dalam negeri dapat berdaya saing. Pasalnya, selama ini harga listrik di Indonesia dikenal yang paling mahal di antara negara-negara Asia Tenggara lainnya yakni mencapai 10 sen dolar AS per kilowatt per jam. Sementara harga listrik di Vietnam dan Malaysia hanya sekitar 6 sen dolar AS per kilowatt per jam.
“Kita ingin investasi dilakukan di bidang teknologi mesin agar industri tekstil nasional bisa berimporvisasi dan berdaya saing, untuk mendorong investasi tersebut harga listrik harus turun,” kata Ade.
Pada kuartal I 2013 pertumbuhan ekspor tekstil Indonesia meningkat sampai 16 persen atau senilai 3,65 miliar dolar AS, dibandingkan dengan kuartal pertama di tahun sebelumnya yang hanya mencapai 3.15 miliar dolar AS. Sebetulnya, industri tekstil domesti sudah menajajki ekspor ke negara lain. Namun, daya beli yang masih rendah membuat penetrasi ke negara lain mengalami kesulitan, termasuk ke Asia Tenggara.
Pada saat Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 mendatang, industri tekstil Indonesia bisa menyerbu pasar Asia Tenggara. Pasalnya, struktur industri tekstil di dalam negeri terbilang komplit yakni memiliki industri tekstil dari hulu sampai hilir. Akan tetapi, Ade tetap waspada karena Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang besar dan menjadi pasar yang potensial. Oleh karena itu, pemerintah perlu membantu industri tekstil dengan mengamankan pasar domestik.