REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan berada di level Rp 13.000 pada akhir 2015. Chief Economist Global Market Permata Bank Josua Pardede mengatakan volatilitas rupiah meningkat sebagai efek dari ketidakpastian kenaikan suku bunga The Fed.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan investasi akan lebih berkelanjutan daripada mengandalkan konsumsi rumah tangga. Menurutnya, rating surat utang Indonesia belum akan direvisi Standard and Poors ke atas. Hal itu mengingat Indonesia belum mengandalkan investasi sebagai source pertumbuhan ekonomi.
“Rupiah belum aman, ada potensi ke Rp 13.000 per dolar AS karena neraca transaksi berjalan belum sustainable,” ujar Josua dalam Media Gathering di gedung Permata Bank WTC II Jakarta, Rabu (22/4).
Dalam beberapa pekan terakhir, rupiah berada di kisaran Rp 12.800 sampai Rp 12.900. Namun, pelemahan mata uang AS belum tentu menjadikan rupiah menguat, karena lebih didorong faktor fundamental.
Dari sisi faktor eksternal, diperkirakan rupiah masih akan melemah pada Juni karena beberapa agenda. Seperti kepastian suku bunga The Fed pada rapat FOMC bulan Juni, pembayaran utang Yunani, serta permintaan dolar yang meningkat untuk repatriasi pembayaran deviden dan pembayaran ULN.
Josua menjelaskan, pelemahan nilai tukar rupiah terus berlanjut pada bulan Maret didorong penguatan dolar AS terhadap mata uang utama dan Asia. Pada Maret, rupiah terdepresiasi rata-rata 2,40 persen ke level Rp 13.071 per dolar AS dibandingkan rata-rata nilai tukar rupiah pada bulan sebelumnya di level Rp 12.765 per dolar AS.