REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Suheri mengatakan pemberlakuan program Jaminan Pensiun (JP) yang rencananya akan diterapkan pada 1 Juli 2015 dengan iuran delapan persen hanya akan menambah beban bagi pemberi kerja dan pekerja.
Suheri menyatakan program JP ini berpotensi menjadi kanibal dan begal bagi industri dana pensiun seperti Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) yang selama ini sudah bekerja keras dan ikut aktif membangun kesadaran akan pentingnya perencanaan pensiun kepada masyarakat Indonesia seperti yang tertuang dalam UU No.11/1992 tentang Dana Pensiun, dan industri dana pensiun pun dikatakannya memiliki hak hidup yang patutu menjadi pertimbangan.
"Skema dan besaran iuran program JP delapan persen juga akan mematikan industri dana pensiun. Seharusnya pemerintah juga memperhatikan hal ini. Urusan JP bukan hanya urusan negara tapi juga pemberi kerja dan pekerja," ujarnya di Jakarta, Senin (20/4).
Ia menambahkan, jika negara ingin mengambilalih semuanya, maka peran pemberi kerja dan pekerja menjadi tidak ada dan akhirnya dapat menurunkan produktifitas pekerja yang merasa manfaat dasar dan menghimbau serta mengedukasi pemberi kerja, pekerja, dan masyarakat agar sadar akan masa pensiun atau hari tua.
Seperti diketahui, industri dana pensiun seperti DPLK dan DPPK saat ini mengelola aset sekitar Rp 191 triliun dengan jumlah peserta sekitar 3,6 juta orang. Industri dana pensiun sendiri menargetkan pertumbuhan bisnis pada tahun ini mencapai 20 persen.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Perkumpulan
Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Nur Hasan Kurniawan mengatakan keyakinannya untuk terus berikan edukasi kepada masyarakat akan pentingnya perencanaan pensiun agar dapat memenuhi TPP yang layak bagi pekerja serta pentingnya pendanaan kewajiban pesangon bagi perusahaan.
Hasan melanjutkan, apabila iuran program JP tetap dipaksakan tinggi, kemungkinan besar perusahaan tidak akan mengeluarkan beban tambahan untuk mendanakan pesangon yang pada gilirannya akan menimbulkan risiko baru dalam hubungan industrial karena jaminan pemenuhan hak pesangon bagi pekerja menjadi rendah.
"Kami membutuhkan kebijakan yang kondusif bagi semua pihak, bukan yang memberatkan dan menambah risiko yang tidak perlu," paparnya.