Senin 20 Apr 2015 15:43 WIB

Dua Isu Akses Internet di Negara Berkembang

Rep: c87/ Red: Satya Festiani
Kecepatan akses internet. Ilustrasi
Foto: Akamai.com
Kecepatan akses internet. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan Infrastruktur Digital membahas potensi internet bagi segi ekonomi dan sosial yang tidak terbatas. Laporan itu menunjukkan terdapat banyak isu-isu yang bisa mempengaruhi kemampuan miliaran orang yang 96 persen di antaranya berada di pasar negara berkembang, untuk terhubung dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat ekonomi digital.

Laporan yang ditulis berkolaborasi dengan Boston Consulting Group tersebut menyatakan pasar negara berkembang menghadapi dua isu umum dalam menyediakan akses internet yang terjangkau. Pertama, membangun kapasitas dan memperluas cakupan jaringan digital, termasuk kebutuhan penting dan mendesak untuk merilis lebih banyak spektrum frekuensi dan pengalokasian penggunaan data di ponsel. Kedua, mendorong penggunaan internet yang lebih luas, terutama di pasar negara berkembang, guna membawa masyarakat secara online.

Laporan Infrastruktur Digital juga menunjukkan perubahan penggunaan kebutuhan dalam segi konsumen dan bisnis serta munculnya Internet of Things akan memiliki dampak yang signifikan pada kebutuhan jaringan infrastruktur di pasar maju dan berkembang. Hasil laporan juga menyatakan bahwa pemerintah harus mendukung kebijakan yang mendorong investasi jaringan digital untuk memenuhi pertumbuhan perdagangan di masa depan. Termasuk menghilangkan hambatan untuk menggelar teknologi berbiaya rendah seperti small cells, eksperimen dengan model harga komersial baru serta rasionalisasi peraturan yang lama.

Kepala Direktur Industri Telekomunikasi dari World Economic Forum Bruce Weinelt mengatakan, perkembangan teknologi dapat membantu menyelesaikan beberapa masalah-masalah tersebut. Namun, beberapa masih terhambat oleh beberapa undang-undang, peraturan pemerintah dan kebijakan lama yang sudah tidak sesuai.

“Terdapat kebutuhan untuk melakukan penyesuaian peraturan yang dapat diwariskan, serta melakukan eksperimen dengan model nilai komersial baru yang bisa menyatukan jaringan investasi yang sudah ada tanpa merugikan kompetisi,” ujar Bruce dalam acara World Economic Forum di Hotel Shangrilla Jakarta, Senin (20/4).

Pendiri dan Ketua dari Bharti Enterprises Sunil Bharti Mittal mengatakan, dengan semakin banyaknya penduduk dunia yang bermigrasi ke pusat perkotaan, pengembangan smart cities membutuhkan perencanaan dan penggelaran infrastruktur ICT. Dalam 15 tahun ke depan, lebih dari 1 miliar orang akan berpindah ke kota-kota besar, terutama di negara berkembang. Sekitar 360 kota baru dengan perkiraan populasi lebih dari 500.000 atau lebih akan dibuat.

Oleh karena itu, pemerintah dinilai perlu menetapkan kebijakan yang berhubungan dengan pembangunan kota cerdas. Termasuk menentukan target investasi jangka panjang di bidang infrastruktur digital kota, mendorong keterlibatan masyarakat yang lebih besar, memungkinkan industri memfokuskan pada pelaksanaan kebijakan serta memutuskan penempatan investasi dengan hasil yang terbaik.

Pemerintah di negara-negara berkembang, kata Sunil, telah menentukan spesifikasi akses broadband yang mereka inginkan. Penilaian ini akan membantu mengembangkan spesifikasi usaha dan pendekatan pendanaan tiap negara dengan teknologi yang agnostik guna menyediakan insentif investasi dan kebebasan untuk bereksperimen.

“Negara-negara bisa belajar dari beberapa model yang berbeda yang telah digunakan guna menghubungkan daerah yang dulunya tidak memungkinkan secara ekonomis,” ujar Sunil.

Sunil menambahkan, teknologi digital saat ini memiliki pengaruh yang lebih luas dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga perkembangnya membutuhkan peningkatan nilai konsumen dan industri dengan menghapuskan isu-isu yang mencegah pengguna dalam pengiriman dan pengaksesan data, terutama data pribadi dan identitas digital sambil menghormati privasi dari pengguna.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement