REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penurunan tingkat kemiskinan menjadi 10,3 persen dari 10,96 persen membutuhkan upaya keras pemerintah pusat dan daerah terutama karena upaya pengentasan kini telah berhadapan dengan masalah-masalah fundamental.
"Kita telah sentuh masalah kronis. Artinya, kita menghadapi sasaran dimana lokasi orang-orang miskin itu tinggal di daerah sulit, daerah tertinggal, daerah perbatasan," kata Deputi Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan UKM Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Rahma Irianti, Jumat (17/4).
Rahma mengklaim selama bertahun-tahun, pemerintah telah sukses menurunkan angka kemiskinan hingga pada 2015 berada di 10,96 persen.
Angka kemiskinan tersisa inilah, kata dia, yang memang membutuhkan upaya ekstra, terutama dari pemerintah daerah.
Pemerintah, dalam rencana jangka pendek, kata dia, telah memetakan untuk membangun sarana prasarana dasar di kabupaten, atau desa tertinggal.
Sarana dan prasarana dasar itu seperti akses air bersih, sanitasi, dan fasilitas pemberdayaan masyarakat seperti pembangunan sarana konektivitas.
Menurut data Badan Pusat Statistik, hingga November 2014, angka kemiskinan Indonesia sebesar 10,96 persen dari total penduduk Indonesia atau 27,7 juta jiwa.
Jika dilihat dari persentase, provinsi yang memiliki penduduk miskin terbanyak adalah Papua sebesar 27,8 persen, dengan garis kemiskinan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Rp358 ribu.
Klasifikasi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Menurut data BPS November 2014, standar kemiskinan tertinggi terdapat di DKI Jakarta, dan Bangka Belitung, masing-masing pengeluaran perkapita perbulan Rp469 ribu dan Rp459 ribu.
Sedangkan, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan adalah pengeluaran perkapita perhari dua dolar AS.