Kamis 16 Apr 2015 18:17 WIB

Pajak Mewah Berpotensi Turunkan Penjualan Rumah

Pertumbuhan Kredit Properti Stagnan: Suasana pembangunan gedung bertingkat di kawasan Cawang, Jakarta, Selasa (10/2).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Pertumbuhan Kredit Properti Stagnan: Suasana pembangunan gedung bertingkat di kawasan Cawang, Jakarta, Selasa (10/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemberlakuan revisi pajak penjualan barang mewah (PPNBM) untuk hunian rumah dinilai berpotensi menurunkan penjualan hingga 30 sampai 40 persen, kata Kepala Penasihat Jones Lang LaSalle Vivin Harsanto.

"Pemberlakuan pajak barang mewah untuk rumah yang tadinya berharga Rp 10 miliar menjadi rumah seharga Rp 2 miliar, berpotensi akan menurunkan penjualan, karena harga itu banyak diminati oleh masyarakat menengah dan itu pasar yang cukup gemuk," kata Vivin di Jakarta, Kamis (16/4).

Selain berpotensi menurunkan penjualan, kebijakan itu mendorong pembangun hunian untuk membuat ukuran rumah yang lebih kecil, agar harganya tidak sampai Rp 2 miliar. Namun akibatnya, akan ada penurunan kualitas hidup masyarakat Indonesia, karena daya belinya menurun.

"Saya pikir tidak masalah kebijakan ini tetap berlaku, namun mungkin di angka Rp 7 miliar, jangan sampai Rp 2 miliar," kata dia.

Menurut dia, takaran kemewahan di setiap daerah di Indonesia berbeda-beda, ia mencontohkan untuk masyarakat Jakarta, rumah seharga Rp2 miliar bukan lagi hal yang mewah.

Untuk itu, pemerintah selayaknya membuat peraturan berdasarkan wilayahnya, namun hal itu akan rumit, maka menurut Vivin jika ingin digeneralkan maka acuannya adalah angka yang tertinggi bukan angka yang terendah.

Kemudian, mengenai peraturan Bank Indonesia yang mewajibkan penggunaan rupiah dalam setiap transaksi, Vivin bependapat untuksektor properti yang mendapat pengaruh dari peraturan itu secara langsung adalah pemilik gedung, namun, selama rupiah stabil, maka tidak akan pengaruh bagi pemilik gedung.

Sementara itu akibat depresiasi rupiah sektor perkantoran di Jakarta mengalami perlambatan pada kuartal pertama 2015, baik dari segi pasokan maupun penyerapan, salah satu penyebabnya adalah depresiasi rupiah terhadap dolar AS.

Tingkat hunian perkantoran di area bisnis (Central Business District) tetap stabil di kisaran 94 persen, penurunan terjadi di tingkat permintaan sebesar 4.400 m2 yang disebabkan oleh efesiensi, relokasi dan penggabungan antara efisiensi dan relokasi.

Dia mengatakan akibat depresiasi rupiah, maka perkantoran grade A dan premium yang transaksinya kebanyakan menggunakan dolar AS menjadi mahal, maka terjadi relokasi para penyewa ke beberapa gedung perkantoran di kawasan yang lebih murah, maupun menuju ke gedung perkantoran di luar kawasan pusat bisnis terpadu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement