REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah berencana untuk mengembalikan kewenangan regulator dan operator migas kepada Pertamina. Dengan demikian, peran SKK Migas dan BPH Migas akan ditinjau ulang.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membantah bahwa pemerintah berniat untuk memotong peran dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dalam RUU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas.
Menurutnya, beberapa opsi terkait keberadaan BPH Migas yang ada dalam RUU tersebut merupakan kesepakatan antara seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), termasuk BPH Migas itu sendiri.
"Dan saya mengatakan kepada semuanya, masing-masing pihak jangan mensustain sendiri. Kalau memang SKK Migas ditutup terus jadi badan usaha, jadilah itu. Kalau memang BPH Migas mengecil atau berubah fungsi, ya berubah fungsi. Saya kira BPH Migas juga mengerti itu. Jadi kita tidak menyunati peran," jelasnya di gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Rabu (8/4).
Dia beralasan, selama ini kritik yang disampaikan kepadanya mengenai tata kelola migas adalah terlalu banyaknya pemangku kepentingan yang mengurus masalah migas. Sebab itu, pemerintah berpikir perlu untuk merampingkannya.
"Too many cook in the kitchen. Terlalu banyak koki dalam dapur kita. Sehingga orang bingung menunya apa. Ini kita coba streamline, kita coba rampingkan," ujar dia.
Sebelumnya, Kementerian ESDM tengah mengkaji sejumlah opsi mengenai masa depan BPH Migas yang rencananya akan dihapuskan oleh pemerintah, sesuai draf revisi UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas.
Opsi yang muncul antara lain, mengembalikan kewenangan PT Pertamina (Persero) sebagai regulator sekaligus operator, atau membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Khusus yang akan mengurus industri hilir migas nasional.