REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi Achmad Safiun mengatakan, harga gas bumi di Indonesia idealnya turun menjadi 5 dolar AS/MMBTU. Dengan kisaran harga tersebut, maka dapat meningkatkan daya saing dan keberlangsungan bagi industri manufaktur.
"Dengan harga gas yang mahal, industri kita udah mulai puasa dan apabila dibiarkan maka akan berdampak terhadap neraca perdagangan negara," ujar Achmad di Jakarta, Selasa (31/3).
Menurut Achmad, harga gas bumi di Indonesia merupakan yang paling mahal di antara negara lain di Asia Tenggara. Harga gas untuk industri di Malaysia, Singapura, dan Vietnam rata-rata hanya 4,5 dolar AS/MMBTU. Sedangkan di dalam negeri mencapai 9 dolar AS/MMBTU. Achmad mengatakan, apabila harga gas di dalam negeri dibiarkan melonjak maka tidak menutup kemungkinan akan banyak industri yang berpindah ke negara lain.
Achmad mengatakan, komponen harga gas bumi pipa di Indonesia naik 45,4 persen. Sementara, harga gas bumi melalui proses regasifikasi (LNG) yakni sekitar 17 sampai 18 dolar AS/MMBTU, dan harga Compressed Natural Gas (CNG) sebesar 22 dolar AS/MMBTU. Mahalnya harga gas tersebut mulai dirasakan dampaknya oleh industri.
"Industri logam, petrokimia, keramik, dan kaca mengalami penurunan produksi sebesar 30 sampai 50 persen, bahkan sebagian industri baja telah melakukan pengurangan tenaga kerja," ujar Achmad.
Selain itu, penggunaan gas pipa oleh industri pengolahan di Jawa Barat juga menurun sekitar 40 sampai 50 mmscfd atau sekitar delapan persen dari penggunaan 2014. Apabila produk industri pengolahan kehilangan daya saing dan ekspor menurun, maka dapat mengancam neraca berjaalan. Apalagi nilai tukar rupiah saat ini sedang melemah.
Achmad mengusulkan agar pemerintah menurunkan harga LNG di Jakarta dan Arun yang semula sebesar 18 dolar AS/MMBTU, menjadi 8 dolar AS/MMBTU. Selain itu, agar tidak terganggu oleh fluktuasi nilai mata uang, sebaiknya semua harga dan pembayaran di dalam negeri dilakukan dalam mata uang rupiah. Hal ini untuk menghindari terangnya krisis yang terjadi pada 1998 silam.
Dengan harga gas yang affordable maka dapat menarik investor ke sektor industri pengolahan. Menurut Achmad, dengan adanya industri pengolahaan maka Indonesia dapat terhindar dari middle income trap.