Rabu 25 Mar 2015 20:44 WIB

BI: Depresiasi Rupiah Lebih Rendah Dibanding Negara Lain

Rep: C87/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
 Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo (kiri) meninggalkan ruangan usai mengikuti rakor di Kantor Menko Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3).   (Antara/Wahyu Putro)
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo (kiri) meninggalkan ruangan usai mengikuti rakor di Kantor Menko Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3). (Antara/Wahyu Putro)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia mencatat depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai 4,19 persen year to date dari Desember 2014 - 24 Maret 2015. Berdasarkan kurs tengah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, nilai tukar rupiah berada di level Rp 12.932 per dolar AS pada Rabu (25/3), menguat 40 poin dibandingkan pada Selasa (24/3) sebesar Rp 12.972 per dolar AS.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan, pada Desember 2008 nilai tukar rupiah sebesar Rp 12.380 per dolar AS dan pada 24 maret 2015 Rp 12.899. Sepanjang 2014 terjadi depreiasi rupiah sebesar 1,8 persen. Sementara, negara lain seperti yen Jepang terdepresiasi 13 persen terhadap dolar AS sepanjang 2014. Sedangkan Malaydia terdepresiasi 6,5 persen.

Dibandingkan dengan negara berkembang di dunia seperti Brasil, Turki dan Afrika Selatan, terdepresiasi lebih besar. Sepanjang 2014, Brasil terdepresiasi 12,5 persen, Rusia terdepresiasi 76 persen, Turki 8 persen dan Afrika Selatan 10 persen.

Sementara, pada Desember 2014 sampai 24 Maret 2015 rupiah terdepresiasi 4,19 persen, Malaysia 10 persen, Brasil 18 persen, Afrika Selatan 1.9 persen, dan Turki 9,3 persen.

Agus menegaskan, pelemahan rupiah terpengaruh kondisi eksternal. Pada 2015 harga delapan komoditi diperkirakan masih akan turun 12 persen, padahal 2013-2014 sudah terjadi penurunan. Kondisi perekonomian dunia ditambah kondisi transaksi berjalan yang defisit serta utang luar negeri (ULN) yang cukup besar dinilai membuat tekanan pada Indonesia.

Menurutnya, ULN swasta termasuk BUMN memiliki karakteristik berbeda dengan ULN pemerintah karena jangka waktu lebih pendek, dan kondisinya lebih banyak tidak dilakukan dengan lindung nilai (hedging). Adanya jangka waktu yang lebih pendek dan tidak adanya lindung nilai akan membuat risiko jika tidak tersedia likuiditas di pasar untuk perpanjangan atau terjadi perubahan nilai tukar. Hal itu juga menyebabkan pinjaman luar negeri memiliki risiko nilai tukar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement