REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Haryono menilai Indonesia adalah negara yang paling siap mengembangkan biofuel atau energi berbasis nabati, terutama karena pasokan kelapa sawit yang melimpah.
"Kita yang paling siap. Dalam pengembangan bioenergi, komoditas yang paling siap itu kelapa sawit. Bahannya ada, teknologinya pun ada," kata Haryono di sela acara "Biogas Indonesia Forum 2015" di Jakarta, Jumat (20/3).
Salah satu kendala berarti yang dihadapi industri itu, menurut dia, adalah soal kebijakan harga. Terlebih dengan adanya kebijakan peningkatan mandatori pencampuran bahan bakar nabati (BBN) dari 10 persen menjadi 15 persen dalam setiap liter bahan bakar minyak jenis solar. "Soal optimalisasi kebijakan harganya memang belum final," ucapnya.
Namun, ungkap Haryono, insentif yang diberikan pemerintah untuk mendukung pengembangan bioenergi hendaknya dimulai dari hal yang paling fundamental seperti infrastruktur. "Dengan infrastruktur yang baik, pelaku usaha akan lebih efisien dalam melakukan investasi. Lalu dilanjutkan dengan insentif pajak dan kemudahan akses pembiayaan," tuturnya.
Ketua Komite Tetap Bidang Energi Baru dan Terbarukan Kadin Indonesia Harry Salman Sohar, dalam kesempatan yang sama mengatakan Indonesia punya banyak potensi untuk mengembangkan BBN. Indonesia juga kaya akan potensi alam termasuk angin, arus laut, panas bumi dan sinar matahari untuk dikembangkan menjadi energi.
"Sekarang perlu pengusaha dan pemerintah untuk punya 'political will' mengubah ini. Jangan cuma UU saja, jangan cuma di kertas, tapi implementasikan," ujar dia.
Menurut Harry, meski didukung dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas, masih banyak faktor yang menghambat pengembangan energi terbarukan di antaranya tingginya pajak dan sulitnya akses pembiayaan.
"Yang pertama bikin susah itu dari perbankan, seharusnya bisa lebih membuka kesempatan untuk pengusaha energi terbarukan," tukasnya.
Harry juga meminta adanya insentif pajak yang dinilai masih terlalu memberatkan pengusaha dalam menjalankan usaha. "Kalau tarif, sudah lumayan sekarang, meski masih bersaing dengan BBM yang harganya sedang turun," katanya.