Rabu 18 Mar 2015 18:40 WIB

Pemerintah Diimbau Jangan Turunkan BBM Dulu

Rep: C85/ Red: Satya Festiani
Seorang petugas melayani penjualan bahan bakan minyak (BBM) di salah satu SPBU Kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (18/3).
Foto: Republika/Prayogi
Seorang petugas melayani penjualan bahan bakan minyak (BBM) di salah satu SPBU Kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (18/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski harga minyak dunia terus anjlok, bahkan awal pekan ini menyentuh level 43 dolar AS per barel, pemerintah diminta untuk menahan diri untuk menurunkan harga BBM. Pengamat energi Fabby Tumiwa menilai, dalam menilai baik turunnya harga BBM pemerintah juga harus melihat kurs rupiah yang masih lemah.

Sehingga, dirinya menilai wajar apabila di saat harga minyak dunia turun, namun harga BBM jenis Pertamax misalnya, justru naik.

Fabby menjelaskan, dengan kondisi kurs dolar AS yang menguat, Pertamina harus menyiapkan cadangan dalam 21 hari ke depan ketika harga menjadi tinggi. Sehingga apabila pemerintah hanya melihat dari segi harga minyak dunia yang masih anjlok dan menurunkan harga, maka niscaya Pertamina akan merugi.

"Menurut saya lebih baik harga dipertahankan. Memang kondisinya memaksa demikian. Pemerintah kan bisa hitung biaya penyediaan BBM subsidi berapa. Itu nanti dihitung bersama Pertamina," ujar Fabby, Rabu (18/3).

Fabby memisalkan, dengan harga 43 dolar AS seperti kemarin, meski rendah namun Pertamina masih harus membeli BBM dengan dolar. Sedangkan penjualan di dalam negeri tentu dengan rupiah. Sehingga, meski Fabby menilai harga keekonomian yang ada saat ini di bawah harga sebelumnya, namun pemerintah diminta mempertahankan.

"Selisihnya bisa disimpan. Karena bisa saja pemerintah menurunkan harga dan masyarakat dapat murah tapi bulan depan naik lagi," ujar Fabby.

Dia menilai cepat nya perubahan harga BBM justru tidak baik untuk iklim perekonomian. "Jadi Pertamina jual bulan ini, kan dari harga spot bulan lalu," lanjutnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement