REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2015 mengalami surplus sebesar 740 juta dolar AS. Kondisi ini didorong oleh surplus sektor migas sebesar 170 juta dolar AS dan non migas 570 juta dolar AS.
Pengamat energi Marwan Batubara menilai, surplus sektor migas lebih diakibatkan oleh kondisi ekonomi global. Terlebih, untuk minyak Indonesia masih impor dalam jumlah banyak. Marwan menjelaskan, kebutuhan minyak dalam negeri mencapai 1,4 juta barel per hari sementara produksi dalam negeri sebatas 700 ribu barel per hari.
"Bukan karena pengurangan impor. Kalau gas mungkin (surplus). Makanya ini surplus dalam volume barang atau dalam bentuk uang. Tapi saya enggak yakin bisa surplus. Karena harga gas ikut turun," jelasnya kepada ROL, Senin (16/3).
Marwan melanjutkan surplus sektor migas bisa diakibatkan oleh pemasukan dari ekspor gas yang memang selama ini surplus. Apabila pengeluaran untuk impor minyak lebih kecil dari pemasukan dari ekspor gas, ujar Marwan, niscaya surplus memang bisa diraih.
"Kalau gas kan memang kita ekspor. Sekitar 45 persen kita ekspor. 55 persen kita pakai dalam negeri. Mungkin dengan ekspor gas ini kita dapat pemasukan. Apakah dari pengeluaran uang tubuh impor minyak jumlah lebih kecil dari penerimaan ekspor gas yang kita lakukan," lanjutnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin menyebutkan dari sisi volume perdagangan, pada Februari mengalami surplus 27,61 ton. Hal itu dipicu surplusnya neraca sektor non migas 27,76 ton walaupun sektor migas defisit 0,15 juta ton.
"Saya agak khawatir ya, tapi bisa saja harga gas itu tidak turun sebesar turunnya harga minyak. Tapi selalu saja harga gas dikaitkan dengan harga minyak. Kita memang defisit minyak tapi kalau gas kita surplus," lanjut Marwan.