Senin 16 Mar 2015 07:40 WIB

Rupiah Jatuh, Saatnya Pemerintah Benahi Manufaktur Berbasis Ekspor

Rupiah Semakin Melemah: Teller menghitung uang rupiah di Banking Hall Bank Mandiri, Jakarta, Rabu (11/3).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Rupiah Semakin Melemah: Teller menghitung uang rupiah di Banking Hall Bank Mandiri, Jakarta, Rabu (11/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Melemahnya nilai tukar rupiah hingga melampaui Rp 13 ribu per dolar AS dalam sepekan terakhir, sejatinya menjadi peluang bagi eksportir meningkatkan penjualan. Namun industri manufaktur berbasis ekspor hingga kini belum begitu menunjukkan eksistensinya.

Founder dan CEO Indosterling Capital William Henley menilai Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas, sehingga pelemahan rupiah belum juga berdampak positif terhadap neraca perdagangan. "Kalau manufakturnya menggeliat, mestinya nilai tambah terhadap ekspor bisa lebih besar," katanya di Jakarta, Senin (16/3).

Nilai tukar rupiah terhadap dolar saat ini menjadi yang terburuk sejak Agustus 1998. Bahkan di Asia, pelemahan rupiah relatif lebih dalam ketimbang negara-negara lainnya. Bank Indonesia (BI) seakan membiarkan pelemahan nilai tukar ini guna memperbaiki kinerja ekspor. "Namun sayangnya masih banyak kendala bagi eksportir untuk memanfaatkan pelemahan rupiah ini," katanya.

Menurut William, industri manufaktur seperti garmen misalnya, masih harus membeli bahan baku dalam mata uang dolar. Sehingga meskipun penjualannya dalam dolar, namun karena pembelian bahan bakunya juga dalam dolar maka pelemahan nilai tukar ini cukup mengkhawatirkan bagi mereka.

Selain garmen, industri pengolahan berbasis sumber daya alam juga belum maksimal. Kebutuhan investasi untuk membangun smelter, misalnya, sangat besar.

Sedangkan  pendanaan dari bank ataupun pasar modal belum cukup menarik bagi sektor tersebut. Padahal, jika industri pengolahan semacam ini bisa dioptimalkan, maka nilai jual produk sumber daya alam Indonesia akan semakin tinggi.

"Masalah infrastruktur juga masih kendala akan lambannya pertumbuhan manufaktur di Indonesia," ujar dia.

Tak hanya itu, industri manufaktur juga harus didera masalah upah buruh yang kerap menuntut kenaikan cukup besar tiap tahunnya. Sedangkan produktivitas buruh tidak sejalan dengan tantangan yang dihadapi secara global.

Jika industri manufaktur lebih diperhatikan, diharapkan impor bisa berkurang sebab kebutuhan dalam negeri sedikitnya bisa dipenuhi sendiri. "Sudah saatnya kita mengambil peluang terhadap perbaikan ekonomi di Amerika Serikat, bukan hanya menyesalkan pelemahan nilai tukar rupiah karena dolar AS yang kian menguat."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement