REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati memperkirakan laju defisit transaksi berjalan di kuartal I (Q-I) 2015 belum membaik karena depresiasi rupiah belum mendorong ekspor secara signifikan.
Enny juga berpendapat defisit masih tertekan karena laju impor barang modal akibat ekspansi belanja pemerntah yang sudah digencarkan di kuartal I. "Ekspor mungkin bisa naik, tapi impor barang modal juga sudah mulai berjalan. Ditambah belum ada stimulus buat peningkatan ekspor," katanya, Senin (9/3).
Dia memperkirakan defisit transaksi berjalan masih mendekati angka defisit pada kuartal IV 2014 sebesar 2,81 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Menurut Enny, pemerintah kurang bergerak cepat dalam memanfaatkan depresiasi rupiah untuk menggenjot ekspor. Hal itu, kata dia, terlihat dari tidak adanya stimulus seperti insentif yang diberikan pemerintah kepada dunia usaha.
Selain itu, kegiatan ekspor juga masih terganggu dengan masih rendahnya harga komoditas dunia dan pelambatan ekonomi negara-negara mitra dagang seperti Tiongkok.
"Penurunan harga komoditas juga terus menganggu ekspor kita," ujarnya.
Sementara, kata Enny, pemerintah terus menggencarkan lelang proyek infrastruktur yang akan diikuti dengan peningkatan impor barang modal. "Kita lihat tren saja, di awal tahun biasanya impor barang modal naik, setelah pemerintah membuat perencanaan," kata dia.
Enny menuturkan pemerintah juga belum terlihat mengembangkan industri substitusi impor. Akibatnya, saat pemerintah dan swasta gencar melakukan pembangunan seperti saat ini, laju impor juga ikut naik. "Selain itu, industri manufaktur juga belum terlihat bergerak, padahal ekspor diandalkan dari situ," ujarnya.
Sebelumnya, Bank Indonesia memperkirakan defisit neraca transaksi berjalan masih berada di level 3 persen terhadap PDB pada 2015. Namun, defisit pada 2015 ini diyakini BI akan digunakan untuk pembiayaan-pembiayaan sektor produktif.