REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bea masuk bahan baku impor industri petrokimia di luar ASEAN atau Most Favoured Nations (MFN) sebesar 10 persen adalah untuk memacu datangnya investasi industri petrokimia sektor hulu di dalam negeri.
"Industri baru tersebut harus bersaing dengan Timur Tengah, tanpa bea masuk pasti Indonesia kalah, mereka sangat murah sedangkan kita mahal," kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) Suhat Miyarso di Jakarta, Kamis (5/3).
Suhat mengatakan, kebutuhan bahan baku industri hilir petrokimia sebetulnya dapat dipenuhi dari negara ASEAN, yang jika diimpor ke Indonesia bea masuknya nol rupiah.
Suhat menambahkan, kebanyakan bahan baku memang diimpor dari negara ASEAN, namun ada juga yang masih diimpor dari Timur Tengah dengan fasilitas Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP).
"Jadi tidak usah beli dari MFN dan tidak usah bayar 10 persen, beli saja dari ASEAN. Kalau yang tidak ada atau kurang, baru minta BMDTP untuk produksi mereka. Jadi, sebetulnya tidak usah mengutak-utik bea masuk, karena masih ada sumber lain," ujar Suhat.
Menurutnya, total impor bahan baku petrokimia adalah 47 ribu ton selama setahun, sedangkan yang mendapat fasilitas BMDTP sebesar 1,4 juta ton, di mana BMDTP diberikan kepada produk yang belum diproduksi di Indonesia maupun ASEAN.
Menteri Perindustrian Saleh Husin mengatakan bahwa pihaknya mempertimbangkan permintaan Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo), yang menginginkan bea masuk bahan baku industri petrokimia diturunkan menjadi 5 persen.
"Kami terbuka terhadap masukan yang disampaikan industri, namun kami tidak bisa langsung mengambil kebijakan, karena hal ini harus dibicarakan bersama agar industri hulu dan hilir petrokimia bisa sama-sama berkembang," kata Menperin.
Menurut Menperin, pemerintah akan mencari solusi atas persoalan tersebut, dan menyatakan keterbukaan untuk duduk bersama dan menerima usulan atas solusi tersebut.