REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (Amkri) menolak kebijakan pemerintah untuk membuka ekspor kayu bulat atau kayu log. Hal ini berpotensi dapat merugikan industri hilir karena akan kekurangan bahan baku.
Ketua Umum Amkri Soenoto mengatakan, apabila pemerintah sudah komitmen untuk mencetak nilai tambah produksi dalam negeri, seharusnya ada kebijakan yang mendukung. Apalagi, pemerintah memiliki target kenaikan ekspor sebesar 300 persen dalam jangka waktu lima tahun mendatang.
"Pelaku usaha furniture akan kehilangan bahan baku, sekarang saja sudah mahal dan susah," ujar Soenoto di Jakarta, Rabu (4/3).
Rata-rata kebutuhan kayu di sektor hilir per tahun mencapai enam juta meter kubik. Jumlah tersebut masih kurang sehingga masih ada impor bahan baku sebesar 75 persen dari Eropa dan Amerika. Sejauh ini bahan baku kayu di dalam negeri paling banyak di produksi di daerah Jawa Tengah, Kalimantan, dan Sulawesi.
Soenoto mengatakan, industri yang kuat adalah industri yang memiliki jaminan pasokan bahan baku dalam jangka panjang dan lestari. Pada kasus industri mebel dan kerajinan yang berbasis kayu, komitmen adanya dukungan regulasi pemerintah untuk menghentikan ekspor bahan baku adalah sangat tepat.
"Bahan baku yang kita miliki merupakan komoditas yang sangat strategis dan kebijakan ekspor kayu gelondongan bertentangan dengan program hilirisasi dan added value," ujar Soenoto.
Selain itu, ekspor kayu gelondongan juga berpotensi dapat merusak lingkungan hidup, karena nantinya akan banyak penebangan hutan. Soenoto menjelaskan, saat ini berbagai pelaku usaha hasil hutan di sektor hulu mendesak pemerintah untuk meloloskan rancangan memperluas penampang kayu olahan yang bisa di ekspor. Perluasan penampang tersebut mencapai 16 ribu milimeter kubik persegi.
Menurut Soenoto, apabila rancangan luas penampang tersebut diloloskan, maka industri hilir dipastikan akan kekurangan bahan baku. Hal tersebut menunjukkan adanya sikap kontraproduktif dan semangat konsistensi untuk mendapatkan nilai tambah.