REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, belakangan ini dinilai menjadi pelemahan paling tajam. Selama pekan terakhir di Februari 2015, rupiah tidak pernah lebih kuat dari Rp 12.800.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistianingsih menilai, selain faktor eksternal, sumber utama pelemahan rupiah diperkirakan dari faktor internal. Faktor eksternal seperti kondisi perekonomian Yunani yang sudah bail out dinilai sudah cukup aman bagi Indonesia.
Sedangkan kondisi Amerika yang menyatakan The Fed tidak buru-buru menaikkan suku bunga dinilai memberi kelonggaran pada penguatan dolar. "Mestinya dolar melemah tapi kemarin dolar menguat lagi. Faktor eksternal iya tapi ini rupiah melemah paling tajam," kata Lana saat dihubungi Republika, Ahad (1/3).
Lana mengatakan, pelemahan dolar diperkirakan karena adanya potensi pembelian dolar yang besar serta kebijakan lindung nilai (hedging) yang belum efektif. Akibatnya, pelaku usaha yang belum melakukan hedging menjadi panik dan membeli dolar secara besar-besaran sebelum jatuh tempo pembayaran utang luar negeri."Biasanya ada pembelian dolar dalam jumlah lumayan," ujarnya.
Di sisi lain, dengan pelemahan rupiah perlu dilihat manfaat lain. Diharapkan saat rupiah melemah barang impor menjadi mahal, sehingga ada potesi kenaikan permintaan barang-barang domestik atau expenditure switching.
Namun, dia belum bisa memperkirakan seberapa sensitif barang lokal bisa menggantikan barang impor. Atau justru barang impor mahal diganti dengan barang impoir yang lebih murah. "Makanya negara-negara seperti Singapura melemahkan mata uang karena ekonomi stagnan. Harapannya orang Singapura membeli barang dalam negeri," terangnya.
Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, kurs tengah rupiah terhadap dolar berada di posisi Rp 12.863 pada Jumat (27/2), dibandingkan Kamis (26/2) di level Rp 12.862.