REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kebijakan penutupan impor dalam bentuk apapun mesti dibarengi pertimbangan dan alasan yang jelas, tidak subyektif, dan tidak dilakukan dalam waktu yang mendadak kecuali dalam kasus-kasus tertentu. Termasuk dalam rencana penutupan impor untuk jeroan oleh pemerintah.
Alasan karena jeroan menjadi makanan kucing dan anjing tidak bisa dijadikan alasan etis untuk menyetop impor. “Kita sangat setuju ada penyetopan impor jeroan, tapi bukan dengan alasan emosional belaka,” kata Pakar Pangan sekaligus Direktur Studi Pertanian Universitas Padjajaran Ronnie Susman Natawidjaja kepada ROL pada Rabu (28/1).
Dikatakannya, pernyataan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman yang menyebut jeroan sebagai makanan hewan sama saja dengan merendahkan bangsa sendiri. Pasalnya, jeroan hampir dikonsumsi dan digemari semua bangsa di Asia. Ia sama sekali tidak ada hubungannya dengan status sosial.
Terlebih ketika menghadapi era perdagangan bebas di akhir 2015. Jika penyetopan impor suatu komoditas tertentu disebabkan alasan yang emosional bahkan mendadak, masyarakat Internasional tidak akan menerimanya. Sebab itu sama saja dengan melanggar kesepakatan perdagangan internasional. “Menteri terlalu naïf bilang begitu,” tuturnya.
Diceritakannya, di dalam industri sapi luar negeri, jeroan merupakan secondary product alias waste product. Di mana, biaya dari membesarkan sapi secara keseluruhan dibebankan pada harga daging. Sehingga, jeroan tidak dihitung dan menjadi tak ada harganya.
Ketika dijual murah pun, para pengusaha sapi akan masih dapat banyak untung. Situasi tersebut dimanfaatkan para pengusaha makanan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan jeroan dalam negeri.
Alih-alih menyebutnya sebagai makanan hewan, seharusnya Mentan menggunakan alasan kesehatan dan sejumlah alasan teknis lainnya. Seperti terhadap apel Amerika yang diduga mengandung bakteri, alasan menjaga kesehatan masyarakat akan diterima warga Internasional dengan baik