Jumat 09 Jan 2015 00:04 WIB

Harga Minyak Dunia Turun, Ini Keuntungan Negara Berkembang

Harga minyak merosot (ilustrasi)
Foto: IRAQENERGY.ORG
Harga minyak merosot (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia dalam laporan prospek ekonomi global terbaru menyatakan negara berkembang bisa mengambil keuntungan dari penurunan harga minyak dunia apabila didukung oleh pertumbuhan global yang kuat.

Dalam laporan Bank Dunia terbaru yang diterima di Jakarta, Kamis (8/1), harga minyak yang rendah diperkirakan bertahan pada 2015, dimana arus pemasukan akan berpindah dari negara pengekspor minyak ke negara pengimpor minyak secara signifikan.

Bagi sebagian negara pengimpor minyak, melemahnya harga minyak akan berkontribusi dan memberikan dampak pada pertumbuhan, pengurangan efek inflasi dan tekanan fiskal serta eksternal.

"Untuk pembuat kebijakan di negara-negara pengimpor minyak yang masih berkembang, jatuhnya harga minyak memberi kesempatan untuk mengambil kebijakan fiskal dan melakukan reformasi struktural serta program sosial," kata Direktur Prospek Pembangunan Bank Dunia, Ayhan Kose.

Namun, pelemahan harga minyak tersebut dapat memberikan tantangan signifikan bagi negara-negara penghasil minyak, yang secara terbalik justru terpengaruh oleh indikasi pertumbuhan yang lemah dan tekanan fiskal serta eksternal.

"Bagi negara pengekspor minyak, harga minyak yang rendah justru mengingatkan akan kelemahan ekonomi suatu negara yang terlalu bertumpu pada satu faktor dan pentingnya upaya untuk melakukan diversifikasi dalam jangka menengah dan panjang," kata Ayhan Kose.

Penurunan harga minyak diakibatkan oleh banyak faktor yang saling terkait, termasuk kenaikan mendadak dari suplai minyak, penurunan permintaan, berkurangnya risiko geopolitik di beberapa daerah, perubahan kebijakan oleh Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), dan penguatan dolar AS.

Meskipun belum diketahui seberapa kuat faktor-faktor tersebut bisa mengubah keadaan, tapi perihal kenaikan suplai lebih mendominasi dari berbagai alasan tersebut.

Laporan menambahkan apabila harga minyak bertahan rendah, investasi pada eksplorasi baru atau pembangunan bisa berkurang. Ini berisiko besar bagi negara-negara berpendapatan rendah, atau terhadap praktek investasi yang tidak konvensional seperti "shale oil", "tar sands" dan lapangan pengeboran minyak di laut dalam.

Pada kesempatan yang sama, Bank Dunia juga memaparkan laporan mengenai tren pada perdagangan global yang sedang mengalami penurunan akibat keterkaitan berbagai faktor dalam jangka panjang antara lain permintaan yang lemah, baik dalam investasi maupun permintaan konsumen.

Saat ini, perdagangan global tercatat hanya tumbuh kurang dari 3,5 persen pada 2012 dan 2013, jauh di bawah rata-rata pertumbuhan per tahun di angka 7 persen, yang berarti menahan pertumbuhan negara-negara berkembang selama beberapa tahun terakhir.

Mengingat negara-negara maju menguasai sekitar 65 persen dari perdagangan impor, situasi perlemahan yang bahkan masih terasa lima tahun sejak krisis 2008 berlalu menjadi bukti bahwa permintaan yang rendah masih terus mempengaruhi iklim perdagangan global.

Secara khusus, perdagangan global menjadi kurang responsif dalam mengantisipasi perubahan akibat ekspansi rantai suplai global yang melemah. Hal ini juga disebabkan oleh adanya perubahan dari investasi yang sarat perdagangan menjadi investasi yang sebaliknya serta konsumsi publik yang juga berkurang.

Laporan juga menemukan bahwa berbagai faktor jangka panjang yang mempengaruhi perdagangan akan terus mempengaruhi arus di tahun-tahun mendatang, khususnya bahwa perbaikan yang diproyeksi akan terjadi pada pertumbuhan global, tidak akan menyamai pertumbuhan secepat yang terjadi sebelum krisis.

Selain itu, laporan ini juga menemukan bahwa remitansi (arus pengiriman dana) ke negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah tidak hanya berkontribusi sangat signifikan pada Produk Domestik Brutto, tapi juga layak dibandingkan dengan arus dana asing (Foreign Direct Investment) dan bantuan asing.

Sejak tahun 2000, arus pengiriman dana ke negara-negara berkembang mencapai rata-rata 60 persen dari seluruh FDI yang mengalir. Bagi banyak negara berkembang, remitansi menjadi salah satu sumber utama perdagangan valuta asing.

Laporan ini juga menunjukkan bahwa diluar masalah jumlahnya, remitansi lebih stabil daripada aliran dana lainnya bahkan dalam situasi finansial yang sulit sekalipun.

Sebagai contoh, di masa lalu, ketika aliran dana jatuh dengan rata-rata 14,8 persen, remitansi justru meningkat 6,6 persen.

Sifat khas aliran remitansi yang stabil, demikian analisa laporan itu menemukan, dapat memperbaiki konsumsi, khususnya untuk negara-negara berkembang yang sering mengalami guncangan makro ekonomi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement