REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lambatnya penetrasi perbankan pada 2014 dinilai akibat pengaruh dari inflasi. Berdasarkan survei Nielsen Indonesia pada September-Oktober 2014, penetrasi perbankan melambat di posisi 21 persen pada 2014, sedikit meningkat dibandingkan 2013 pada posisi 20,7 persen.
Sementara pada 2010-2012 penetrasi menunjukkan peningkatan masing-masing di level 15,9 persen, 17,8 persen dan 20,9 persen.
Pengamat Perbankan, Paul Sutaryono, mengatakan pelambatan penetrasi perbankan salah satunya disebabkan inflasi. Daya beli masyarakat yang rendah menyebabkan nasabah perbankan berkurang dan mengurangi tingkat transaksi perbankan. Sebab, masyarakat akan cenderung memenuhi kebutuhan lain yang cenderung meningkat.
"Jadi nasabah hanya memakai rekening dan ATM saja, padahal produk dan jasa perbankan banyak seperti internet banking mobile banking," kata Paul saat dihubungi Republika, Selasa (23/12).
Menurutnya, ke depan bank akan menghadapi tantangan penetrasi yang lebih sulit. Oleh sebab itu perbankan harus menaikkan tingkat efisiensi, yang diukur dari satu beban operasional terhadap biaya pendapatan. Kemudian, menurunkan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL). Caranya dengan meningkatkan kualitas kredit, dan meningkatkan manajemen risiko kredit. Selain itu, perbankan harus menaikkan modal.
"Karena semakin tinggi modalnya akan semakin mampu untuk bersaing. Ketiga hal itu juga sebagai senjata untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015," jelasnya.
Di samping itu, tantangan kenaikan suku bunga The Fed, akan menyebabkan suku bunga acuan BI rate akan naik. Kenaikan BI rate akan menyebabkan perang suku bunga deposito. Sehingga akan meningkatkan biaya dana atau cost of funds bank-bank nasional. "Akhirnya suku bunga kredit akan naik, ini tantangan utama bagi BI untuk mengelola suku bunga acuan dengan baik," imbuhnya.
Paul juga menilai pentingnya edukasi mengenai produk dan jasa perbankan dari bank dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada masyarakat untuk meningkatkan literasi perbankan.