REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Transaksi dengan mata uang asing khususnya dollar Amerika Serikat di dalam negeri mendorong peningkatan inflasi. Oleh sebab itu, pemerintah didesak mengatur regulasi transaksi dengan mata uang asing di dalam negeri.
Ekonom Farial Anwar mengatakan sudah ada regulasi yang mengatur traksaksi mata uang asing di dalam negeri yakni UU Nomor 7 Tahun 2011 mengenai penggunaan uang di wilayah NKRI. Namun, menurutnya pembuat UU saat itu tidak terlalu paham apa yang menjadi masalah dan apa yang harus diatur. Selain itu, UU tersebut tidak diikuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) terkait transaksi apa saja yang mengganggu rupiah.
Farial mendesak regulasi tersebut segera ditegakkan supaya tekanan terhadap rupiah berkurang. Sebab, walaupun jumlah transaksinya tidak besar tapi akan menimbulkan sentimen pasar.
"Semua orang akan lari ke dolar. Nah bayangkan kalau semua orang berpikir lebih baik saya pegang dollar daripada saya pegang rupiah dampaknya tentu pada nilai tukarnya. Baik transaksi kecil maupun transakasi besar," jelasnya.
"Sekarang semua pakai dolar, sewa apartemen, ke hotel, mall, bandara. Kalau transaksi di luar negeri boleh pakai dollar tapi transaksi di dalam negeri bisa-bisanya pakai dolar," kata Farial dalam diskusi Perspektif Indonesia, di Jakarta, Sabtu (20/12).
Sementara itu, Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa, mengatakan rupiah harus diperlakukan sebagai raja di negeri sendiri. Selama ini, para pengusaha selalu menghitung profit dengan dolar. Sedangkan, negara lain seperti Thailand dan Filipina selalu menggunakan mata uang dalam negeri untuk bertransaksi di dalam negeri.
"Hitungan dengan sen dolar itu harus disetop. Kalau kita ke Thailand semua pakai Bath, ke Filipina semua pakai Peso, itu harus dipaksa," kata Suharso.