Jumat 28 Nov 2014 00:52 WIB

Perbanas: Indonesia Harus Memiliki 'Bank Khusus'

Rep: C87/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Suasana pembangunan infrastruktur di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis(22/5).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Suasana pembangunan infrastruktur di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis(22/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) mendesak pemerintah membuat bank khusus untuk melayani kredit, ekspor-impor, maupun pembangunan infrastruktur. Bank khusus tersebut hanya melayani sektor tertentu dan tidak melayani nasabah seperti umum.

Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono, mengatakan Indonesia butuh bank khusus karena pertumbuhan ekonomi belum merata, masih terjadi ketimpangan penyaluran kredit perbankan, dan untuk mendorong perkembangan sektor tertentu diperlukan bank yang fokus, serta untuk menghindari pembebanan pembiayaan khusus kepada bank umum melalui program kredit.

Menurutnya, Bank Rakyat Indonesia (BRI) harus dikembalikan fungsinya yang khusus melayani UMKM dan  Bank Tabungan Negara (BTN) yang melayani pembiayaan. BTN dulu adalah bank khusus untuk kredit, tapi dipaksa pemerintah menjadi bank umum sehingga akhirnya kalah bersaing. Sementara BRI dulu bank khusus untuk pembiayaan UMKM.

"BRI harus dikembalikan ke bank khusus untuk membiayai UMKM, pertanian dan perikanan, karena BRI sejak dulu didesain itu dan BRI adalah ahlinya," kata Sigit dalam diskusi bertema Jokowi vs Serbuan Bank-bank Asing di Hotel Sofyan, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (27/11).

Selanjutnya, portofolio BRI bisa dijual ke bank umum lain seperti BNI atau mandiri. Agar nantinya tugas bank khusus lebih jelas. Sigit menceritakan sejak zaman Soekarno, BRI adalah bank yang melayani koperasi, petani dan nelayan.

"Ada kategori bank khusus karena kita perlu, ga mungkin negara ini cuma punya bank umum.," ucap dia. Menurutnya, dihapusnya bank khusus adalah kesalahan terbesar saat melahirkan UU Perbankan Tahun 1992 yang mengkategorikan bank menjadi dua yakni bank umum dan bank perkreditan.

Selain itu, dia menilai salah kaprah ketentuan semua bank wajib 20 persen membiayai UMKM. Sebab, tidak semua bank sistemnya bisa membiayai umkm.

Menurutnya, kebijakan itu adalah penyakit semua rezim sejak zaman Presiden Soeharto, zaman Habibie, zaman Megawati yang bernama Kredit Tanpa Agunan (KTA), dan zaman SBY dengan nama kredit usaha rakyat (KUR). Dikhawatirkan, Presiden Jokowi juga akan masuk ke jurang yang sama.

"Menurut saya itu eggak sehat. Beban seperti itu seharusnya ditanggung bank khusus, bank umum kerja yang benar bayar pajak tinggi," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement