Kamis 20 Nov 2014 18:45 WIB

OJK: Standardisasi Akad Keuangan Syariah Penting

Aktivitas di kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta, Senin (22/9). (Republika/Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Aktivitas di kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta, Senin (22/9). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Standardisasi penyusunan akad atau kontrak, serta produk antara lembaga keuangan syariah dengan nasabah sangat penting, salah satunya karena akad tersebut dapat menjadi pedoman dalam penyelesaian sengketa.

"Sekaligus standardisasi itu untuk menjadi panduan yang memudahkan bagi notaris dan pelaku industri jasa keuangan syariah," kata Kepala Bagian Departemen Perbankan Syariah OJK Setiawan Budi Utomo, dalam diskusi di The Islamic Banking and Finance Institute (IBFI) di Jakarta, Kamis (20/11).

Setiawan mengatakan, dengan adanya standardisasi itu, pihak-pihak yang bersengketa memiliki acuan yang mengandung prinsip syariah dalam produk keuangan.

Selama ini, kata dia, jika terjadi sengketa antara lembaga keuangan dan nasabah, akad atau juga perjanjian syariah ternyata sering dinilai tidak sesuai dengan prinsip syariah. Akhirnya, perjanjian itu dibatalkan oleh Pengadilan Agama ataupun Badan Arbitrase Syariah Nasional MUI.

"Akad atau perjanjian itu juga kerap masih berpedoman pada produk keuangan konvensional, dan memang Sumber Daya Manusianya di lembaga keuangan juga belum sepenuhnya mengerti syariah," ujar Setiawan.

Menurut Setiawan, standardisasi tersebut harus mengacu pada tiga hal yakni, pertama prosedur standar yang harus dijalankan lembaga jasa keuangan syariah dalam mengoperasionalkan produknya.

Kedua, pedoman standar dalam menyusun kontrak baku, yang menjadi landasan dalam membuat perjanjian dengan nasabah. Ketiga, cakupan standar materi yang dimuat harus disesuaikan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan prinsip syariah pada umumnya disamping prinsip kehati-hatian serta memenuhi standar 'market conduct'.

Selama ini, akad antara lembaga keuangan syariah dan nasabah disusun berdasarkan fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Namun, akad itu juga harus sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia, Peraturan OJK, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Peraturan Mahkamah Agung.

Direktur Eksekutif IBFI Universitas Trisakti Muhamad Nadratuzzaman Hosen mengatakan, selama ini implementasi dari akad bisnis keuangan juga berbeda oleh beberapa pihak.

Menurut dia, dalam banyak kasus sengketa di Pengadilan, lembaga keuangan syariah seringkali kalah karena akad yang tidak sempurna aplikasinya dan juga tidak sesuai dengan hukum Islam dan hukum positif.

Dia menekankan, dalam prinsip syariah, bukan hanya kegiatan usaha atau produknya saja yang harus sesuai syariah, tetapi juga hubungan hukum dan akibat hukum yang timbul.

"Termasuk, dalam hal ini jika terjadi sengketa antara para pihak bank syariah dengan nasabahnya," ujarnya.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement