REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Pemerintah membuat kebijakan menghentikan sementara atau melakukan moratorium pemberian izin bagi kapal-kapal penangkap ikan yang baru.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, kepada wartawan di Kuta, Bali, Kamis (20/11) mengatakan, moratorium itu dimaksudkan untuk melindungi dan memberikan kesempatan anak ikan dan juvenil untuk berkembang biak.
"Selama ini banyak kapal yang menangkap ikan sampai habis, sehingga ikan tidak punya kesempatan berkembang biak. Ini merugikan," kata Susi.
Hal itu dikemukakan Susi kepada wartawan seusai membuka Bali Tuna Conference (BTC), yakni kegiatan yang bertujuan mempromosikan ikan tuna Indonesia. BTC akan berlangsung tiga hari (19-21 November), mengambil tema mainstreaming Sustainable Tuna Management in The Asia-Pacific. Selain sejumlah pakar perikanan, perwakilan sejumlah organisasi perikanan regional juga hadir sebagai peserta.
Menurut Susi, penghentian pemberian izin baru, terutama di tujukan bagi kapal-kapal kapal yang tidak ramah lingkungan. Jenis kapal itu antara lain jenis pukat harimau, troler, pursainer. "Kapal-kapal itu kalau beroperasi bisa menghabisi ikan tuna sampai ke yang berukuran kecil," katanya.
Berdasarkan data FAO, ada sekitar 6,8 juta metrik ton tuna dari berbagai jenis yang ditangkap setiap tahun dan 16 persennya dipasok dari produksi tuna Indonesia. Tercatat rata-rata produksi tuna, tongkol dan cakalang Indonesia sebesar 1,1 juta ton per tahun, dengan nilai perdagangan Rp 40 triliun.
"Permintaan pasar dan harga yang tinggi membuat produksi tuna dan sejenisnya menjadi primadona di tingkat global," katanya.
Menteri menjelaskan, terkait permintaan tuna yang tinggi, Indonesia menghadapi masalah baru, yakni eksploitasi terhadap ikan tuna yang dapat berdampak buruk bagi kelangsungan sumberdaya dan habitat tuna, menurunnya produktivitas, ukuran tuna mengecil dan daerah tangkapan semakin jauh.
"Imbasnya tentu akan mengancam keberlangsungan mata pencaharian nelayan dan bisnis tuna," kata entri.
Susi menambahkan, untuk mencegah akibat negatif itu, diperlukan sustainable fisheries development. Dimana hal itu dapat mencegah terjadinya kerusakan habitat tuna dan produksi tuna tetap tinggi. Karena itu lanjutnya, diperlukan kerjasama regional maupun global sebagai upaya penyelamatan suberdaya dan bisnis tuna.