REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat energi Marwan Batubara mencurigai adanya peran mafia migas dalam kerja sama migas government to government (G to G) antara Indonesia dengan Angola.
"Pertama, keuntungan 2,5 juta dolar itu terhadap apa. Kedua, mengapa bukan dengan Iran, Saudi atau negara lain yang jelas produksi dan cadangan minyaknya jauh di atas Angola? Saya malah khawatir ini terkait mafia migas," jelas Marwan saat dihubungi Republika Online (ROL), Ahad (2/11).
Pengamat energi Marwan Batubara mengungkapkan, pemilihan Angola sebagai partner kerjasama harus lebih transparan. Selain itu, Marwan menambahkan bahwa kerjasama G to G haruslah memberikan harga yang lebih murah dibandingkan ketika dengan Petral.
Pengamat lainnya, Komaidi Notonegoro beranggapan bahwa kerja sama G to G seperti yang dijalin Indonesia dengan Angola haruslah dikembangkan. Lantaran pada umumnya jenis kerja sama ini akan mendapat harga komoditas yang lebih murah.
"Tapi formula g to g harus jelas. Misal, melalui kerja sama ini Indonesia dapat minyak dari Angola 80 dolar di saat harga minyak dunia 86 dolar. Nah, kalau minyak dunia turun di bawah itu, harusnya minyak dari Angola juga turun misal 65 dolar. Jangan stuck di angka 80 dolar. Gak jadi untung kita. Mekanisme g to g harus jelas," ujarnya kepada Republika.
Seperti diketahui konsumsi BBM di Indonesia terus tumbuh sekitar delapan persen per tahun, di sisi lain tingkat produksi minyak mentah menurun dan kapasitas kilang tidak bertambah. Pertamina terus berupaya mendukung pemerintah untuk menjamin ketahanan energi nasional, baik melalui upaya-upaya peningkatan produksi di hulu yang bersumber dari dalam maupun luar negeri, peningkatan kapasitas kilang, dan juga upaya konversi dan diversifikasi energi.
Angola merupakan negara anggota Organisasi Pengekspor Minyak (OPEC). Pada 2013 Angola memproduksi minyak dan kondensat sejumlah 1,8 juta barel per hari. Sejak 2002, pertumbuhan produksi minyak Angola mencapai rata-rata 15 persen per tahun yang disokong oleh lapangan-lapangan deepwater.