REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Siklus keuangan Indonesia (SKI) memberikan indikasi mulai memasuki fase perlambatan. Hasil estimasi Bank Indonesia (BI) menunjukkan terjadi perlambatan sebagaimana tampak dari arah siklus keuangan yang cenderung menurun.
"Perlambatan SKI tersebut disebabkan oleh menurunnya laju pertumbuhan kredit sebagai indikator pembiayaan perekonomian domestik," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara dalam penjelasan persnya, Rabu (29/10).
Perlambatan siklus keuangan yang terjadi bersamaan dengan ketidakpastian terhadap prospek pertumbuhan global menimbulkan risiko terhadap pertumbuhan ekonomi ke depan. Sumber pembiayaan ekonomi pada tahun-tahun mendatang bisa menjadi relatif terbatas.
BI mencatat, perbankan domestik memerlukan tambahan modal atau likuiditas dengan LDR yang telah mencapai 89,7 persen per September 2014. Sementara pembiayaan dari utang luar negeri (ULN) yang dalam dua tahun terakhir naik tinggi mulai mengalami perlambatan.
Volatilitas nilai tukar yang meningkat dalam dua tahun terakhir menaikkan risiko nilai tukar sehingga ikut mengurangi ULN. ULN sektor swasta pada Agustus 2014 tumbuh sebesar 12,2 persen (yoy). Atau lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya yang sebesar 13,2 persen (yoy).
Memperhatikan perkembangan tersebut, Bank Indonesia mencermati dan mengelola pergerakan siklus keuangan melalui kebijakan makroprudensial. Sebagian hasil dari kebijakan makroprudensial yang telah diterapkan selama ini sudah mulai tampak pada perilaku amplitudo.
Tirta mengatakan, bank sentral di dunia kini memberi perhatian lebih terhadap dinamika siklus keuangan. Belajar dari beberapa krisis sebelumnya, pengelolaan makro perekonomian dengan hanya berdasarkan siklus bisnis atau naik-turunnya pertumbuhan ekonomi tidak cukup.
Seringkali, risiko justru timbul dari pergerakan boom-bust (naik turunnya) siklus keuangan yang tidak selalu sama dengan siklus bisnis.
Sebelum terjadinya krisis keuangan global pada 2008, menurut Tirta, kebijakan makroekonomi, termasuk moneter, sering terpaku pada siklus pertumbuhan ekonomi atau siklus bisnis. Terkadang siklus bisnis sudah mengalami fase turun sementara siklus keuangan masih mengalami fase meningkat.
Luputnya bank sentral di dunia dalam mengawasi dinamika siklus keuangan dituding sebagai penyebab krisis keuangan global 2008.
Dalam hal ini, BI menyatakan, kebijakan bank sentral menurunkan suku bunga sejalan dengan pencapaian inflasi yang rendah justu dapat memicu risk taking. Ini adalah perilaku mengambil risiko berlebih pada sektor yang spekulatif dengan motivasi mencari high yield atau imbal hasil tinggi yang semakin dominan.