REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Ahli pertanian Dr HS Dillon mengingatkan bahwa terminologi ketahanan pangan yang dikembangkan World Bank menjebak kita semua.
''Konsep ketahanan pangan yang dikembangan World Bank justru membuka peluang bagi impor pangan. Ini yang harus diwaspadai,'' kata HS Dillon, saat berbicara pada diskusi bulanan Perhimpunan Jurnalis Indonesia, Selasa (15/10).
Oleh itu perlu dikembangkan suatu konsep ketahanan pangan yang memungkinkan kita melalukan suatu aksi yang tidak dianggap melanggar ketentuan yang ditetapkan World Bank. Dillonpun menilai bahwa kedaulatan pangan menjadi sebuah rumusan ideal.
''Dengan kedaulatan pangan kita bisa membuat suatu kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan kita, pilihan kita sendiri, tidak bergantung kepada yang lain,'' katanya.
Soal ketahanan pangan, pakar pertanian Unsiyah Prof Dr Abubakar Salim mengingatkan bahwa ketahanan pangan bukan hanya memenuhi kecukupan pangan penduduk dan negara saja. ''Masih ada komanya. Harus ditambahkan tidak impor pangan. Maksudnya untuk memenuhi ketahanan pangan harus ada komitmen tidak impor pangan,'' katanya.
Dengan demikian kita bisa mewujudkan ketahanan pangan nasional tanpa harus impor pangan. '' Kita mampu kok memenuhi kebutuhan pangan sendiri,'' ujar Abubakar.
Untuk menuju kedaulatan pangan, Dillon mengingatkan konsep, membongkar, membangun, membongkar dan membangun. ''Ini harus dilakukan, harus ada perombakan yang sangat mendasar, terutama mentalitas pihak yang terkait dengan kedaulatan pangan,'' katanya.
Dari sisi swasembada atau kemandirian pangan, Dillon optimistis Indonesia mampu mewujudkan. Ia kemudian menunjuk kebijakan swasembada pangan yang diterapkan Soeharto pada periode 1973-1983.
''Apa hasilnya, kita tak saja mampu berswasembada beras yang sebelumnya banyak mengandalkan impor. Swasembada beras juga mampu menurunkan kemiskinan secara signifikan. Ini mendapat pujian dunia internasional,'' katanya.
Salah satu kunci dari swasembada pangan adalah harga yang wajar bagi petani. Ia didukung oleh suatu sistem yang saling antara satu dengan yang lain. ''Pak Harto juga menyediakan pembiayaan yang memadai yang diambil dari hasil ekspor minyak saat itu,'' papar Dillon.
Oleh karena itu, jika ingin kedaulatan pangan terwujud, harus berpihak pada petani. ''Sekarang ini kan tidak. Tak ada yang peduli petani, lebih peduli pada pengusaha dan konglomerat,'' ujar Dillon.